Sedih rasanya mengikuti kelanjutan permusuhan Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang untuk sementara dimenangi polisi. Namun kita harus berhati-hati menggunakan "polisi" karena tidak semua polisi berjiwa "rekening gendut." Dengan demikian permusuhan antara polisi melawan KPK mungkin hanya diwakili oleh para polisi yang senang harta atau yang lebih dikenal dengan para pemilik rekening gendut. Setelah memenangi sidang pra peradilan yang menunjukkan bahwa KPK tidak boleh menjadikan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi, polisi menjadikan ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka pada hal sebelumnya dia sudah "direkayasa" mempunyai hubungan tidak senonoh dengan wanita muda yang cantik, lalu anggota KPK Pandu Pradja dilaporkan karena dianggap menyerobot saham orang lain, dll. Persoalannya sekarang sadarkah Presiden Joko Widodo sedang diseret oleh orang-orang tertentu untuk berpihak pada kelompok penggemar korupsi dan berseberangan dengan KPK? Kalau sadar, sebaiknya dia segera melepaskan diri dari "tarikan" tersembunyi itu. Kalau tidak sadar, maka sebaiknya para pembantunya segera memberitahu dia bahwa sikap para polisi dan pejabat lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung ingin melemahkan KPK dapat menjerat Presiden Jokowi ke dalam perangkap atau kubangan korupsi padahal sosok Jokowi mendapat dukungan rakyat karena sikap sederhananya dan komitmennya yang anti korupsi.
Presiden Jokowi perlu berhati-hati jangan sampai terjerat perangkap para penggemar korupsi (Ilustrasi---MI/Tiyok/ip). Bagaimana kira-kira Presiden Jokowi dijerat? Jika Presiden Jokowi menerima anggapan bahwa "tidak ada yang bersih di negeri ini dan kalau dicari kesalahannya pasti ada," pada gilirannya akan digunakan para penggemar korupsi untuk menjadi dasar yang kuat untuk membenarkan perbuatan mereka. Para penggemar korupsi itu akan menikmati fasilitas berupa mobil mewah, rumah besar nan indah, dan tabungan miliaran rupiah karena tidak ada lagi lembaga yang perlu ditakuti. Itu tentu merupakan jerat yang sangat halus tapi sangat melukai hati rakyat. Jerat yang kedua jika Presiden Jokowi akhirnya mengambil sikap "yang kurang menyukai KPK" karena didukung oleh berbagai pihak seperti Komjen Budi Gunawan, Komjen Budi Waseso, Menko Polhukam, dll yang sepertinya berada dalam satu perahu menghadapi perahu lain yang ditumpangi KPK. Tidak perlu dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia memilih Jokowi karena sikapnya yang tegas terhadap korupsi dan menganggap berada satu perahu dengan KPK. Jadi kalau Jokowi akhirnya lebih memilih masuk dalam perahu penggemar korupsi dan tidak dalam perahu KPK, maka itu adalah jerat yang dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap Jokowi. Pemerintahan presiden Jokowi masih relatif baru, wajar saja terjadi "gejolak" karena ketidaktahuan terhadap orang-orang di sekitarnya. Namun dalam melanjutkan perjalanan pemerintahan ke depan ini lebih baik dia sadar agar tidak dimanfaatkan para penggemar korupsi. Lebih baik Jokowi dikenal berpihak pada KPK, dari pada berpihak pada para pemilik rekening gendut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H