Sering orang mengatakan bahwa masyarakat Indoneisa itu unik. Hanya di Indonesia kesalahan pejabat publik cepat dilupakan. Akibatnya orang yang sudah dinyatakan melakukan korupsi pun masih bisa terpilih menjadi pejabat publik. Seandainya Gayus Tambunan mencalonkan diri jadi anggota DPR atau pejabat publik lainnya, bisa saja dia terpilih karena namanya sudah terkenal dan masyarakat lupa terkenalnya karena apa. Apalagi dia melakukan sedikit manuver, maka bisa saja orang itu terpilih. Terkait dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masyarakat sudah telanjur senang karena terbukti melakukan langkah nyata untuk mencegah uang rakyat atau uang negara dinikmati orang tertentu secara tidak sah atau melanggar hukum. Apalagi di bawah kepemimpinan Abraham Samad, KPK rasanya semakin tegas dan berani sehingga uang rakyat benar-benar dapat digunakan untuk membangun negara. Sayangnya di era pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi yang memiliki rekening gendut sebesar Rp. 57 miliar yang konon merupakan titipan anaknya yang masih berusia 19 tahun saat Budi Gunawan masih menjadi eselon dua di Polri, telah berhasil meluluhlantahkan pimpinan KPK. Sepertinya Presiden, Menko Polhukam, calon Kapolri Budi Gunawan dan Kabareskrim Budi Waseso, PDIP dan Partai Nasdem membangun suatu kekuatan yang luar biasa sehingga mampu merubuhkan pimpinan KPK. Maka Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang dikenal sebagai tokoh berani dan bersih terjengkang karena kalah dalam pra peradilan yang diajukan Komjen Bambang Gunawan. Bukan saja mereka harus menghentikan upaya mencari tahu dari mana uang Rp. 57 miliar yang dimiliki calon Kapolri itu, tapi mereka harus menerima nasib "dikeluarkan" dari KPK. Tapi apakah kiprah mereka selama di KPK perlu dinafikan? Tentu saja tidak. Banyak uang negara yang seharusnya bisa dinikmati orang tertentu secara tidak sah, bisa mereka cegah. Bagaimana dengan pimpinan baru KPK? Hanya ada dua pilihan bagi mereka. Pilihan pertama, kalau ingin bertahan lama, maka mereka harus bisa bekerjasama dengan penguasa, karena penguasa begitu berkuasanya. Pilihan kedua, jika bertindak kritis, maka nasibnya akan seperti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang justeru bisa terpental dari KPK. Sejatinya tidak akan ada lagi orang yang mau menjadi pimpinan KPK jika keadaannya masih seperti sekarang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H