Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Kita Biarkan Indonesia Menjadi Negeri Kebohongan

4 Februari 2019   15:45 Diperbarui: 4 Februari 2019   16:07 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan Indra Mahardika berjudul "Kebohongan Amir "Pejalan Kaki" Fenomenal, Tamparan Keras untuk Jurnalis dan Netizen" seperti judulnya mengungkap kebohongan seseorang dari Medan untuk menemui ibunya di Banyuwangi namun ternyata ibunya masih berada di Medan. Upaya yang ternyata bohong itu sempat membuat pelakunya mengumpulkan uang Rp 74 juta rupiah karena banyak masyarakat yang merasa iba.

Tulisan itu perlu ditanggapi karena sepertinya masyarakat kita menganggap kebohongan itu dianggap hal biasa atau yang lumrah dilakukan. Jika itu dibiarkan maka, negeri ini bisa hancur, setidaknya reputasinya menjadi sangat buruk.

Nilai indeks korupsi yang diberikan Transparansi Internasional (Transparency International) yang berpusat di Berlin, Jerman tanggal 29 Januari 2019 hanya dengan nilai 38 dari 100 paling tinggi. Sementara Singapura mendapat nilai 85. Rasanya tidak enak kalau Indonesia kalah dengan Singapura. Namun ceritera yang disampaikan Indra Mahardika bahwa ada orang yang tega berbohong dengan menyatakan telah bernazar bahwa jika dia sembuh dari penyakitnya maka ia akan menemui ibunya di Banyuwangi. Ternyata itu bohong.

Tapi itu bukan satu-satunya kebohongan di Indonesia. Berita hoaks begitu berani ditampilkan seolah tanpa etika. Mudah-mudahan berita hoaks di Indonesia bukan yang tertinggi di dunia seandainya diadakan penelitian. 

Seorang tokoh nasional seperti Ratna Sarumpaet begitu beraninya menampilkan dirinya yang babak belur dan katanya dipukuli oleh orang berambut cepak (yang sering diasosiasikan dengan aparat TNI dan Polri). Namun setelah berita itu berkembang sepertinya Polisi di bawah Kapolri Tito Karnavian begitu kejam dan aparat TNI di bawah Panglima Jenderal Hadi Tjahjanto juga begitu kejam di alam reformasi ini.

Mengingat Ratna Sarumpaet merupakan pendukung calon presiden Prabowo-Sandiaga Uno, maka Prabowo dan Sandiaga Uno juga dengan cepat mengutuk pelaku penganiayaan tersebut. Namun setelah pihak Kepolisian bertindak cepat dan professional, maka Ratna Sarumpaet mengakui bahwa dia berbohong dan tidak benar dia dianiaya oleh orang berambut cepak.

Di dalam dunia bisnis juga Menteri Keuangan mengatakan ada juga orang Indonesia yang melakukan kebohongan demi mendapatkan keuntungan. Katanya orang itu melakukan ekspor ke luar negeri, pada hal kenyataannya bohong. Dua perusahaan yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat katanya mengisi kontainer ekspor dengan plastik-plastik berisi air yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 118 miliar.  Itu juga kebohongan.

Pada hal Price Waterhouse Coopers tahun 2015 meramalkan bahwa Indonesia akan bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia dan pada tahun 2050 Indonesia akan menjadi nomor 4 di dunia setelah Tiongkok, AS dan India.

Namun kalau kebohongan dalam masyarakat ini tidak segera dicegah, rasanya ramalan itu hanyalah ramalan saja. Seluruh masyarakat Indonesia sangat bertanggungjawab untuk tidak menjadikan negeri sebagai negeri kebohongan. Jika tidak mampu diatasi maka masa depan negeri ini sangat suram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun