Perdebatan mengenai mantan narapidana koruptor yang mencalonkan diri menjadi calon legislatif (caleg) mengguncang kehidupan politik Indonesia di tahun 2018 ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoret nama caleg mantan koruptor, sementara pihak lain, termasuk Bawaslu, tidak setuju dengan cara itu dengan berbagai alasan. Apa sesungguhnya yang menjadi persoalan intinya dan mengapa menjadi begitu?
Indonesia memang menurut konstitusi merupakan negara hukum dan segala seustu harus didasarkan pada hukum. Di usianya yang ke-73 ini sebenarnya Indonesia sudah melakukan banyak raihan luar biasa termasuk untuk membangun Indonesia hingga pada keadaan sekarang ini, termasuk di bidang hukum.
Masalahnya, Indonesia itu belum begitu paham tentang arti hukum yang sesungguhnya. Ada yang menganggap hukum itu hanya undang-undang yang dibuat Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Â
Akibatnya ada pihak yang menggunakan "hukum" itu untuk membenarkan tindakanya. Pak Harto selama berkuasa 32 tahun mengatakan bahwa dia tidak pernah melanggar hukum karena setiap tindakannya sudah diatur dalam undang-undang terlebih dulu. Demikian halnya dengan mantan napi koruptor dalam undang-undang sudah diatur boleh mencalonkan diri lagi.
Tapi masyarakat tahu bahwa persoalan korupsi telah merajalela di negeri dan telah menyengsarakan kehidupan masyarakat. Itulah alasan utama mengapa mahasiswa mampu menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun itu, dan melahirkan era reformasi.
Namun di era refromasi ini korupsi masih terjadi, bahkan bukan di tingkat tinggi seperti di zaman Orde Baru, tapi di tingkat yang lebih tendah. Anggota DPRD Medan, Sumbar, Malang, dll merupakan contoh terjadinya praktik korupsi itu.
KPU nampaknya menggunakan diskresinya untuk tidak mau membenarkan mantan napi koruptor mencalonkan diri karena yang bukan mantan napi koruptor saja masih bisa terjebak dalam praktik korupsi; apalagi yang sudah pernah melakukannya.
Masalah ini sebenarnya bukan hanya masalah KPU. Tapi lebih dalam dari itu. Pertanyaan masyarakat tentunya bagaimana mungkin DPR dan Pemerintah membuat undang-undang yang membenarkan mantan napi koruptor yang telah mencuri uang rakyat itu boleh mencalonkan diri lagi.Â
Namun, seperti biasanya, nasi sudah menjadi bubur. Sepertinya hukum Indonesia sudah "membenarkan" tindakan korupsi itu secara tidak langsung. Jika hukum ini diteruskan bukan tidak mungkin para politisi akan merasa tidak apa-apa ketika melakukan korupsi dan bukan mustahil para pejabat publik akan berlomba-lomba mengambil uang rakyat itu dengan cara secanggih mungkin karena sudah mendapat "lampu hijau yang agak kuning" untuk melakukan itu. Kalau itu yang terjadi, maka yang menjadi korban masyarakat yang tidak berdaya itu.
Dengan demikian masalah napi yang mencalonkan diri jadi caleg bukan sekadar undang-undang membolehkan atau KPU melarang, tapi persoalan kenegaraan yang perlu memikirkan secara mendasar bagaimana memperbaiki negeri ini. Negara bukan hanya memungkinkan DPR bersidang dan berkantor setiap hari di gedung megah dengan fasilitas yang memadai. Tapi ada yang lebih penting yakni memungkinkan warganya, termasuk DPR dan lembaga negara lainnya, Â untuk melakukan yang terbaik demi memajukan negerinya.
KPU seharusnya perlu mendapat penghargaan yang sangat tinggi dari masyarakat karena merupakan satu-satunya lembaga yang berani "tampil beda" demi menjaga uang rakyat agar jangan dikorupsi lagi dengan tidak membenarkan mantan napi koruptor mencalonkan diri lagi. Ironisnya ada sebagian masyarakat yang tidak tahu bahwa apa yang dilakukan KPU itu adalah untuk melindungi mereka.