Yohanes Ande Kala (Joni), siswa SMP pemanjat tiang bertemu dengan Menpora Imam Nahrawi. (Eva Safitri/detikcom).
Kita telah menyaksikan keberanian dan ketulusan seorang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tanpa alas kaki memanjat tiang bendera untuk memperbaiki agar bendera merah putih dapat naik dan berkibar di puncak. Kejadiannya berlangsung pada upacara peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 di Motaain, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Beli, Nusa Tenggara Timur.
Saat itu bertindak sebagai Inspektur Upacara Wakil Bupati Belu, J.T Ose Luan. Saat bendera sudah siap untuk dikibarkan tiga pengerek bendera berseragam putih itu, tiba-tiba tali bendera terputus sehingga tidak bisa dinaikkan. Disaksikan para peserta upacara, Camat Tasifeto Timur segera meminta siapa saja yang bisa memanjat tiang bendera untuk memperbaiki.
Di situlah muncul Yohanes Ande Kala, siswa SMPN 7 Silawan menawarkan diri dan langsung memanjat tiang bendera di hadapan para peserta upacara. Saat di tengah terlihat Joni kelelahan dan terlihat berhenti. Ada suara yang meminta turun saja. Namun dengan semangat pantang menyerah akhirnya dia mampu sampai ke puncak dan berhasil memperbaiki sehingga bendera merah putih kemudian dapat dikerek dengan baik dan berkibar.
Apa arti sikap berani dan tulus murid SMP itu?
Wakil Bupati di tengah pidatonya memuji sikap Joni dan memanggilnya maju ke depan dan berdiri di samping Inspektur Upacara.
Kemudian berbagai penghargaan hingga dari Jakarta bermunculan.
Menpora Imam Nahrawi, Panglima TNI bahkan Presiden Jokowi menyampaikan penghargaan atas sikap heroik Joni itu.
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi memberikan jaket Asian Games 2018 kepada Joni. Bahkan ia juga diajak berkeliling ruang kerja Menteri. Lalu, sampai di ruang kerja, Joni pun dikasih kesempatan duduk di kursi Menpora.
Ketika diminta datang ke Jakarta, Joni dibelikan seragam sekolah baru oleh Kapolres Belu AKBP C Tobing.
Ayah Joni, Victorino Fahik Marshal, yang merupakan mantan pejuang integrasi dari Timor Leste dan ibunya, Lorensa Gama, yang merupakan keluarga kurang mampu juga ikut diundang ke Jakarta.