Dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan tanggal 31 Januari 2018, Presiden Jokowi marah-marah karena ekspor Indonesia masih kecil. Memang meningkat 16% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sehingga kini mencapai 168 miliar dolar Amerika Serikat menurut Badan Pusat Statistik untuk tahun 2017.
Tapi karena masih di bawah Singapura (353 miliar dolar AS), Vietnam (214 miliar), Thailand (190 miliar), dan Malaysia (180 miliar), Jokowi marah. Kementerian Perdagangan harus berupaya lebih keras lagi dan jangan hanya rapat kerja-rapat kerja saja; harus ada langkah terobosan baru guna meningkatkan ekspornya.
Salah satu ekspor utama Indonesia adalah minyak kelapa sawit (palm oil) yang mencapai sekitar Rp 300 triliun atau 23 miliar dolar AS. Indonesia menghasilkan 36 juta ton setiap tahun atau 61% dari minyak sawit dunia yang mencapai 58,8 juta ton.
Sedangkan Malaysia menghasilkan 21 juta ton atau 37% minyak sawit dunia. Artinya Indonesia dan Malaysia saja sudah menghasilkan 98% minyak sawit dunia. Koq bisa? Ya bisalah karena secara alami Indonesia dan Malaysia hanya mempunyai musim kemarau dan musim hujan. Dengan demikian sinar mata hari yang dibutuhkan oleh kelapa sawit (dan juga produk lain dari tanah seperti pohon pinus untuk kertas) sangat banyak.
Akibatnya dalam waktu lima tahun saja (bahkan empat tahun) pohon sawit sudah bisa dipanen. Sementara di negara empat musim (seperti Eropa dan AS) sinar mata hari hanya pada musim panas saja yang banyak sehingga pohon sawit hanya bisa dipanen setelah 25 tahun.
Memang untuk apa minyak sawit itu? Minyak sawit itu digunakan untuk pembuatan es krim, mi instan, sabun, lipstik, dan juga untuk minyak diesel guna menggerakkan mesin.
Tahun 2017 Parlemen Eropa  membuat keputusan yang melarang penggunaan minyak sawit karena menganggap proses pembuatan minyak sawit itu merusak lingkungan hidup yakni dengan memotong pohon lalu membakarnya sehingga menimbulkan polusi udara. Benarkah tuduhan itu?
Para penghasil minyak sawit mengatakan bahwa di Eropa memang minyak goreng dibuat dari bunga matahari atau kacang kedelai, dan lain-lain. Namun karena harga dan kualitas minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia lebih baik, maka minyak sawit dari Eropa itu menjadi "keteteran."
Akibatnya sering muncul tudingan miring tentang produk minyak sawit Indonesia dan Malaysia.
Anak-anak muda Indonesia harus lebih cerdas untuk menghadapi isu perdagangan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H