Di tengah hiruk pikuk pergantian Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Jenderal TNI Gatot Nurmantyo kepada KSAU Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, dan reuni umat Islam 212 di lapangan Monumen Nasional (monas) serta pernyataan Presiden Amerika Serikta yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, ada pekerjaan rumah kita uang cukup besar di sektor pariwisata yakni mewujudkan kehadiran 20 juta turis asing ke Indonesia tahun 2019.
Boleh saja itu salah satu target pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo dan Menteri Pariwisata Arif Yahya, namun secara objektif harus diakui bahwa target itu sangat baik untuk masyarakat karena Badan Pariwisata Dunia (WTO) mengatakan dari setiap satu orang turis asing akan mendatangkan minimal seribu dolar untuk negara penerima. Namun menyerahkannya hanya kepada salah satu pihak seperti kepada pemerintah, tidak akan membawa hasil yang optimal. Bahkan walaupun seluruh aparat Kementerian Pariwisata atau kementerian terkait bekerja optimal, belum tentu menjadikan hasil yang terbaik.
Masyarakat dan pengusaha harus bisa lebih cerdas untuk mengambil keuntungan dari kehadiran para turis. Memang tugas utama pemerintahlah untuk menyediakan infrstruktur yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya bandar udara internasional Silangit telah dibangun pemerintah untuk menunjang pariwisata Danau Toba. Namun masyarakat dan pengusaha tidak mungkin menikmati hasil optimal dari kedatangan turis jika mereka tidak cerdas dan kreatif.
Ada makanan khas yang diminati masyarakat bernama "ombus-ombus" di kota Siborongborong (sekitar 10 menit dari bandara Silangit) yakni makanan yang dibuat dari tepung beras yang secara khusus dengan gula aren yang khusus pula. Harga satu ombus-ombus dua ribu rupiah dan hanya satu toko yang membuatnya.Â
Selama ini 700 buah setiap hari sudah merupakan prestasi bagi toko itu. Karena memang sudah mendapatkan 1,4 juta rupiah per hari atau sekitar 40 juta rupiah per bulan. Setelah bandara Silangit dibangun pemerintah, ternyata turis makin banyak dan permintaan untuk "ombus-ombus" juga meningkat. Sayangnya masyarakat atau pengusaha setempat tidak bisa memanfaatkan peluang itu. Suatu saat ada pengunjung yang membutuhkan dua ribu "ombus-ombus" dan pemilik toko dengan lugunya hanya mengatakan "tidak bisa" karena kemampuannya hanya 700 buah.
Seharusnya pengusaha (setempat) bisa membuat dua puluh atau seratus toko ombus-ombus sehingga bisa memenuhi permintaan yang makin meningkat. Kemasannya juga harus diperbaiki misalnya dibuat tempat yang bersih dan menarik seperti kotak bakpia di kota Yogyakarta. Berikutnya pemerintah atau kaum intelektual bisa membantu agar ombus-ombus itu bisa bertahan tiga hari atau seminggu sehingga para turis bisa membawanya sebagai oleh-oleh. Â
Itulah gambaran betapa pentingnya semua pihak ikut berperan dalam mewujudkan pekerjaan rumah (PR) besar mendatangkan 20 juta turis ke Indonesia tahun 2019. Tentu hal itu bukan hal yang mustahil sebenarnya karena Thailand sudah menerima 34 juta turis dan Malaysia menerima 30 juta turis asing setiap tahunnya, padahal tempat wisata di Indonesia jauh lebih indah dan menarik. Tapi mengapa Indonesia tidak bisa menarik turis lebih banyak?
Semua pihak harus ikut berperan. Bukan saja semua kementerian dan lembaga di tingkat pusat, tapi juga pemerintah daerah dan pengusaha serta masyarakat. Brosur informasi wisata dalam semua bahasa asing penting di dunia misalnya sangat perlu sehingga mengetahaui apa yang bisa dilihat dan kapan sebaiknya datang dan di mana mereka tinggal serta berapa biaya yang diperlukan.
Itulah salah satu PR besar kita yang sangat mendesak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H