Tanggal 3 April 2015 Direktur Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Sukardi Rinakit,  menolak jabatan Komisaris Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN). Padahal dalam RUPS diputuskan, Sukardi Rinakit menggantikan posisi Mardiasmo yang sekarang menjabat Wakil Menteri Keuangan.
Sukardi Rinakit mengatakan sejak semula dia tidak bisa menerima posisi Komisaris Utama BTN karena tidak mau menerima pekerjaan dengan tangan kosong. Sikap Sukardi iut kiranya sudah tepat. Mengapa?
Mungkin masyarakat Indonesia tidak begitu paham tentang jabatan Komisaris perusahaan sehingga membiarkan praktik itu terjadi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan komisaris merupakan kesempatan mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar dari gajinya sendiri. Dengan kata lain ini kalau dilihat secara tulus dan saksama komisaris itu merupakan praktek korupsi secara halus atau tersembunyi. Bagaimana penjelasannya?
Pertama siapa yang boleh menjadi Komisaris haruslah orang-orang bisa diajak fleksibel dan kompromi. Jadi Ahok yang dikenal lurus dan tegas tidak mungkin diminta jadi Komisaris karena sulit diajak kompromi, dan praktek komisaris nanti jadi ketahuan. Dengan kata lain cara penentuan komisaris saja sudah tidak sesuai harapan masyarakat. Kedua, penghasilan yang sangat besar sebagai komisaris benar-benar di luar dugaan. Seorang pembantu atau asisten komisaris mengakui bahwa penghasilannya sebagai pembantu komisaris saja jauh melampaui gajinya sendiri, apalagi penghasilan komisaris itu.
Kita bisa lihat salah satu contoh Dewan Komisaris Krakatau Steel (2015) yang terdiri dari  Komisaris Utama: Achmad Sofjan Ruky, dan para komisaris: Binsar H. Simanjuntak, Tubagus Fachry Nachril, Hilmar Farid (sejarawan yang pernah menjadi Ketua Panitia Simposium Seknas Jokowi), Roy E. Maningkas (yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan juga anggota Barisan Relawan Jokowi Presiden), dan Harjanto (yang merupakan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian). Apakah Dirjen ini tidak sebaiknya mengatakan bahwa dia sudah sibuk dengan pekerjaannya di Kementerian Perindustrian? Tapi karena fasilitasnya lebih baik, maka dia tentu tidak keberatan.
Memang di zaman reformasi ini ada sedikit perbaikan, karena di zaman Orde Baru siapa yang boleh menjadi komisaris sangat ditentukan oleh orang-orang tertentu saja, dan itu boleh dikatakan komisaris hanya menerima gaji buta saja karena hampir tidak ada pekerjaannya. Biasanya mantan pejabat atau bahkan pejabat aktif di kementerian tertentu saja seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian saja yang boleh jadi komisaris. Lalu pejabat di kementerian lain yang mengetahui dan ikut menentukan, seperti Kementerian Sekretariat Negara, minta jatah juga.
Setelah reformasi, sekarang ada kemajuan sedikit, karena Komisaris ikut bertanggungawab jika perusahaan mengalami kerugian atau menghadapi masalah. Namun prakteknya masih jauh dari harapan masyarakat, karena yang membuat aturan tentang komisaris pun adalah orang-orang yang akan menikmatinya. Misalnya menteri tidak boleh jadi komisaris, tapi pejabat eselon satu boleh, maka jadilah penghasilan pejabat eselon satu melebihi penghasilan menterinya.
Seandainya dana untuk komisaris digunakan untuk membantu masyarakat, manfaatnya jauh lebih besar. Semoga saja para aktivis masyarakat atau LSM ada yang peduli dengan keberadaan komisaris perusahaan ini.
Semoga sikap Sukardi Rinakit ini diikuti oleh para pejabat atau tokoh yang ditawari jabatan komisaris. Mungkin lebih baik terus terang saja. Jabatannya diterima, tapi penghasilan yang sangat besar karena jabtan komisaris itu lebih baik digunakan untuk membantu masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H