Pernahkah anda ke Pasar Senen, Jakarta? Kalau kita lewat sekitar pukul 01.00 dini hari maka di pinggir jalan banyak ibu-ibu yang menjual makanan kecil yang biasanya dijadikan makanan ringan saat rapat orang-orang kantoran. Sampai di situ belum ada masalah. Karena ada ibu-ibu yang menjual barang dagangannya, dan ada orang yang membeli. Wajar-wajar saja. Tapi kalau kita bertanya kepada ibu-ibu itu barulah mulai terkuak ada yang tidak wajar. Apa itu? Ya, para ibu itu sebenarnya "terpaksa" berjualan hanya untuk menyambung hidupnya dan keluarganya. Namun karena tidak memiliki apa-apa, maka mereka harus berhutang meminjam uang dari tetangga atau teman. Pinjam 500 ribu, kemudian nanti malam dikembalikan 550 ribu. Bahkan ada yang harus mengembalikan 600 ribu. Tapi itu sudah lumayan membuat mereka hidup beberapa hari. Setelah habis hasil penjualan itu kembali lagi pinjam kepada tetangga dengan pola yang sama. Itu sebenarnya sama saja bunganya 10% per hari atau 300% per bulan atau 3.600% per tahun. Jualan makanan kecil di Pasar Senen di pagi hari (Sumber: Martinus66). Mungkin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Perbankan mengatakan dengan mudah mengapa harus pinjam ke tetangga, kenapa tidak pinjam ke bank saja. Persoalannya rumit. Pinjam ke tetangga atau teman jauh lebih mudah, sementara pinjam ke bank sangat berbelit-belit. Sebenarnya kalau ada kemauan yang tulus, sebenarnya pihak perbankan bisa dengan inisiatif sendiri mendatangi ibu-ibu di Pasar Senen itu dan menawarkan jasa dengan meminjamkan uang sekitar 2 juta rupiah, nanti di akhir bulan dikembalikan dengan bunga yang lebih tinggi. Atau kalau memang memiliki semangat baik seperti Muhammad Yunus, profesor ekonomi dan penerima hadiah Nobel dari Bangladesh, maka pihak perbankan datang lagi saja di akhir bulan untuk menerima cicilan atau pengembalian pinjaman dari ibu-ibu tadi. Persoalannya sekarang adakah pejabat pemerintah, atau pihak perbankan yang peduli dengan nasib ibu-ibu penjual makanan ringan di Pasar Senen itu? Mungkin banyak ibu-ibu yang semangat dan nasibnya sama dengan para ibu itu. Sayangnya mereka tidak mampu menuliskan keluhan atau harapan mereka di Kompasiana. Mudah-mudahan saja ada yang berbaik hati sekali-sekali mau melewati Pasar Senen dini hari untuk mengetahui nasib para ibu yang gigih hanya untuk menyambung hidup keluarganya hari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H