Air mata isteri Hoegeng Imam Santoso, jenderal polisi mantan Kapolri, belum kering mengenang suami tercinta yang diberhentikan Pak Harto karena tidak mau melakukan korupsi, tiba-tiba kita dikejutkan rekening gendut para perwira polisi yang diungkap oleh majalah terekemuka Tempo tahun 2008. Rekening para perwira polisi itu jauh bertolak belakang dengan kesederhanaan Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Tapi kembali catatan harta kekayaan perwira polisi menyeruak ketika Presiden Jokowi mengajukan calon Kapolri menggantikan Kapolri Sutarman. Komjen Budi Gunawan menjadi calon tunggal karena dianggap paling baik dari semua calon yang ada. Tapi PPATK dan KPK melihat lebih dalam dari pada Kompolnas, maka terungkaplah ada uang di rekening jenderal bintang tiga itu sebanyak Rp. 57 miliar. KPK lalu menetapkannya sebagai tersangka. Presiden Jokowi dengan bijak membatalkan walau sudah ada persetujuan dari DPR. Maka diangkatlah Wakapolri menjadi Plt Kapolri. Tapi apa hendak dinyana? Harta kekayaan Plt Kapolri yang sebelumnya Wakapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti juga mencengangkan. Ternyata menurut penelusuran harian Kompas terakhir kali dia menyerahkan LHKPN pada 2 Mei 2014 dengan harta senilai Rp 8.290.211.160 dan 4.000 dollar AS. Ya, sekali lagi hartanya juga mencapai delapan miliar lebih. Kalau pimpinan polisi punya harta miliaran rupiah sementara anak buahnya ada yang tidur di kandang sapi mengapa ini bisa terjadi dan sampai kapan harus dibiarkan? Siapa yang berhak meminta seluruh perwira polisi menjelaskan asal usul harta mereka ini? Presiden, DPR, KPK atau siapa? Mungkin karena media sudah tidak tahan, terpaksa majalah Tempo tahun 2008 mempulikasikan "rahasia negara" itu dengan mengedarkan rekening gendut. Walaupun saat itu majalah tersebut ludes habis sebelum masyarakat sempat membeli dan membacanya, bahkan setelah diectak ulang pun masih terus juga diborong, akibatnya sekarang ini. Kalau mungkin saat itu langsung dituntaskan secara baik, bukan dengan memborong habis majalah itu, maka "kontroversi Budi Gunawan" ini tidak perlu terjadi. Tapi hati nurani 250 juta masyarakat Indonesia dari Merauke hingga ke Sabang bertanya dengan tulus saat ini berapa orang perwira polisi sesungguhnya yang memiliki harta miliaran rupiah? Jangan-jangan banyak para perwira polisi itu yang kaya raya sementara anak buahnya ada yang tidur di kandang sapi. Ironi ini harus segera diselesaikan. Mungkin majalah Tempo perlu melakukan investigasi baru tentang kekayaan para jenderal di negeri ini. Tentu akan muncul berbagai pandangan dalam masyarakat, tentang berapa pantasnya harta yang dimiliki para jenderal. Tapi kita bisa bandingkan dengan presiden atau menteri. Kalau gaji presiden Rp. 50 juta per bulan maka setahun hanya Rp 600 juta; itu pun kalau ditabung semua tanpa ada yang digunakan untuk makan, minum dan pakaian. Selama masa jabatan satu periode atau lima tahun hanya tiga miliar rupiah. Lalu bagaimana seorang perwira polisi yang jauh di bawah presiden dan menteri punya harta yang lebih besar dari presiden dan menteri? Itu harus dijelaskan. "Asas praduga tak bersalah" mungkin tidak boleh lagi dijadikan "senjata" untuk melindungi harta yang terlalu besar di kalangan para jenderal itu. Sudah saatnya Kapolri dipilih seperti sosok Ahok yang berani mengatakan semua perwira polri harus menjelaskan harta kekayaannya, tidak cukup hanya melaporkan seperti saat ini. Masyarakat Indonesia ingin tahu mulai pangkat apa biasanya para perwira memiliki harta miliaran rupiah dan bagaimana caranya mereka mendapatkan itu. Jika perlu biarlah seluruh masyarakat Indonesia masuk Akademi Kepolisan agar nanti memiliki harta miliaran rupiah. Kalau itu tidak terjawab dan tidak diselesaikan, maka polisi yang tidur di kandang sapi akan semakin banyak, sementara perwira polisi yang punya miliaran akan semakin bertambah. Percaya atau tidak, Plt Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti ini pun ternyata punya harta miliaran rupiah sementara anak buahnya ada yang hidup di kandang sapi.....(Sumber: Sabrina Asril/Kompas.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H