Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Hutang Budi," Jokowi dan Megawati

28 Januari 2015   16:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:14 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini hanyalah pengamatan seorang warga negara biasa tentang kehidupan politik Indonesia. Terus terang ini dilatarbelakangi "langkah rumit" yang harus dihadapi Presiden Jokowi ketika mencalonkan calon Kapolri yang ternyata di tengah pencalonan itu menghadapi masalah. Bukan saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan Presiden agar berhati-hati dengan calon itu tetapi beberapa hari kemudian KPK menetapkannya sebagai tersangka.

Akibatnya muncul penafsiran yang beragam. Ada yang mengatakan pencalonan calon Kapolri itu tidak terlepas dari pengaruh mantan presiden Megawati Soekarnoputri yang memang berperan besar dalam membesarkan Jokowi baik sebagai gubernur DKI maupun sebagai presiden RI. Tentu saja anggapan itu belum tentu benar. Namun kalau itu benar, maka kita tidak bisa berhenti di situ saja. Kita harus kembali ke belakang menelusuri sejarah.

Ada ceritera politik yang belum tentu benar juga. Konon Presiden Soeharto mempunyai metode yang luar biasa yang membuat semua menteri dan pejabat lainnya bisa dibuatnya merasa berhutang budi. "Merasa berhutang budi" secara politik inilah yang menjadi inti persoalan dalam tulisan ini.

Dari sejarah perpolitikan Indonesia kelihatannya "merasa berhutang budi" ini akan terus menjadi "momok" jika tidak segera diselesaikan secara tuntas. Mari kita urai satu per satu.

"Merasa berhutang budi" ala Penjajah Belanda

Mungkin masyarakat Indonesia kini sudah lupa bahwa banyak orang Indonesia yang menjadi pejabat pemerintah di zaman penjajahan Belanda. Bahkan di zaman kemerdekaan, ketika terjadi perundingan hingga tahun 1949 ada banyak pejabat Belanda yang berasal dari Indonesia dan berhadapan dengan pejabat Pemerintah Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945. Bahkan pejabat Belanda yang merupakan orang Indonesia itu sering "lebih penjajah" dari pada pejabat Belanda. Mengapa itu bisa terjadi?

Karena penjajah Belanda sangat cerdas menerapkan sistem "merasa berhutang budi" sehingga pejabat Belanda yang sebenarnya orang Indonesia itu merasa berhutang budi dan terpaksa harus rela berpihak pada Pemerintah Belanda dan memusuhi rakyatnya sendiri.

Begitu lamanya sistem ini diterapkan Belanda, yakni sekitar 300 tahun, maka wajar saja di alam kemerdekaan yang masih kurang dari 100 tahun ini praktik itu masih sulit dilupakan.

"Merasa berhutang budi" ala Pak Harto

Di zaman Pak Harto semua menteri merasa berhutang kepada Pak Harto karena memang Pak Harto punya cara untuk mewujudkan itu. Seorang mantan menteri di zaman Pak Harto menuturkan bahwa dia akan menikahkan anaknya dan dia baru sadar bahwa dia tidak punya waktu untuk menyiapkannya karena memang hidupnya hanya untuk bekerja. Tiba-tiba seseorang datang untuk memberikan segala sesuatu yang diperlukan mulai A hingga Z. Tak lupa orang itu berkata, "Bapak (maksudnya Pak Harto) tahu bahwa Pak Menteri tidak punya waktu untuk memikirkan keluarga karena seluruh hidupnya hanya untuk bekerja memikirkan rakyat. Ini hanya sekadar perhatian Bapak, dan ada sedikit titipan dari Ibu Tien (itu jumlahnya bisa biaya hidup mereka setahun)." Siapa yang tidak merasa berhutang budi menerima itu di zaman itu?

Pada hal sesungguhnya jika diberikan pendapatan yang layak bagi setiap menteri, maka itu mungkin dan tidak perlu berhutang budi. Pemberian orang itu justeru harus ditolak seperti sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun