Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jokowi, Puan dan Anis Baswedan Bisa Cegah Begal dengan Revolusi Mental!

26 Februari 2015   12:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi perlu turun tangan untuk mencegah kejahatan jalanan "begal" dengan meminta Puan, Anis Baswedan dan Kapolri menindaklanjuti konsep mengenai revolusi mental  (Sumber: KOMPAS.com/INDRA KUNTONO). Dari berbagai media, termasuk dari Kompasiana, kita mendapati fenomena kejahatan jalanan atau yang dikenal dengan istilah "begal" semakin marak. Di kota Semarang misalnya saat malam berganti dinihari menuju subuh dan pagi hari, para penjahat jalanan atau begal itu mengintai para pengendara sepeda motor di sudut-sudut kota. Berulangkali tim Resmob Polrestabes Semarang berhasil meringkus "bandit-bandit kecil" — berusia muda, antara 15-25 tahun. Tapi jika polisi berhasil meringkus satu kelompok, kelompok lain muncul lagi. Kita baru saja mengikuti bahwa 48 pelaku "begal motor" ditangkap jajaran Kepolisian Resor Kota Depok, Jawa Barat. Polisi juga menyita ratusan kendaraan. Sejumlah barang bukti disita di antaranya 21 mobil, 120 sepeda motor, 140 senjata tajam, serta 12 senjata api jenis organik, air softgun, dan senjata api rakitan. Dari sekian pelaku begal yang tertangkap rata-rata berasal dari kelompok lokal Depok dan jaringan Lampung. Apa yang dilakukan para "Begal?" Para "begal" itu tidak semata mengincar tas pengendara sepeda motor, tapi juga sepeda motornya. Anak-anak muda itu awalnya "memepet" sasaran di jalanan sepi, kemudian ketika korban sudah tidak ada ruang untuk bergerak, mereka menakut-nakuti dengan celurit atau parang. Mungkin orang berpandangan dari pada nyawa melayang, para korban biasanya pasrah motornya dibawa kabur. Korban lain bisa mengenai polisi yang tidak berpakaian dinas seperti yang dialami Ricky Pranasaputra (26) dan Hananto Prasetyo (29), dari Polda Jawa Tengah. Bahkan akibat perbuatan "begal" itu bisa menimbulkan korban tewas seperti yang dialami Rita Margiati, perempuan berumur 38 tahun yang juga pemilik Candi Golf Semarang itu hendak dipepet "begal" namun kemudian terjatuh dan tewas seketika. Kemudian polisi berhasil membekuk "begal"nya yakni Boma Indarto (26) dan Kuat Suko Setiyono (25). Boma adalah kuli bangunan, sedangkan Kuat berstatus pengangguran setelah istrinya tak membolehkan dia jadi tukang las lagi di Kalimantan. Ternyata bukan hanya di Semarang, di kota-kota lain termasuk Bekasi, Tangerang, juga muncul "begal" dimaksud. Di samping upaya hukum oleh pihak kepolisian, tidak jarang masyarakat menghakimi para "begal" yang tertangkap dan ada yang mati terbunuh karena tindakan masyarakat. Memang seharusnya ini menjadi urusan kepolisian. Sendainya Kapolri baru meminta seluruh stafnya untuk mencegah terjadi "begal" ini, tentu masyarakat akan merasa lebih aman. Sekarang ini masyarakat jadi resah, apalagi harus menggunakan sepeda motor pada malam atau pagi hari, pada hal ada kalanya mereka harus keluar rumah demi menyambung hidup. "Begal" Itu Kita Kita  mendapat gambaran tentang para "begal" itu. Mungkin yang perlu kita lakukan saat ini adalah memahami bahwa "begal" itu ternyata adalah bagian dari masyarakat Indonesia, apalagi usia mereka antara 15-25 tahun. Mungkin mereka merupakan "bandit-bandit kecil" yang kurang perhatian atau tidak tahu mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Ketika anak-anak muda menghadapai masalah, mungkin mereka ingin mencoba-coba sesuatu, dan para "begal" itu menenggak obat-obatan semacam pil Trihex (Trihexphenidyl), yang membuat mereka menjadi sangat berani bahkan tega melakukan apa pun juga. Penjualan Trihex atau pil koplo dibiarkan saja dijual bebas tanpa ada tindakan tegas dari pihak kepolisian. Seharusnya ini menjadi salah satu pekerjaan rumah kepolisian. Ada lagi kejadian ternyata penjual atau pengedar pil koplo adalah nenek tukang sayur. Namanya Bu Ngadinah yang biasa berjualan di depan rumahnya di kawasan Simongan, Semarang Barat ternyata ketahuan menyembunyikan 50 kotak pil Trihex, masing-masing berisi 500 butir, dan menutupinya dengan sayur mayur di lapaknya. Para pengedar pil koplo di Semarang ternyata menjualnya termasuk kepada pelajar SMA/SMK putri yang dikenal alim dan berprestasi. Seharusnya "sekolah" yang mereka ikuti bisa menolong mereka untuk menjadi orang yang terhibdar dari "begal" atau "bandit-bandit" kecil itu. Masyarakat juga perlu sadar bahwa menangkap dan menghakimi mereka hingga tewas bukan jawaban terbaik untuk menghadapi mereka. Kalau negara Jepang bisa membuat sistem "sekolah" yang membuat semua pesertanya menghormati gurunya, dan tidak memiliki "begal," seharusnya "sekolah" Indonesia di bawah kendali Menteri Pendidikan Anis Baswedan, Menko Puan Maharani, dan Presiden Jokowi, serta didukung oleh Kapolri bisa menciptakan masyarakat di mana "begal" tidak perlu ada. Bila perlu berguru ke Jepang tidak masalah. Jika saat ini ada "begal" yang tertangkap, maka masyarakat tidak boleh menghakimi, masyarakat hanya perlu menyerahkan begal itu kepada pihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut sesuai ketentuan yang berlaku. Para guru di sekolah harus bisa menanamkan kepada anak murid bahwa tindakan "begal" merupakan tindakan kejahatan yang bukan saja bertentangan dengan agama, tapi juga melanggar hukum yang membuat pelakunya bisa masuk penjara. Pendekatan Menyeluruh Tentu saja mencegah fenomena "begal" ini bukan hanya tugas pemerintah, guru, polisi, atau orang tua saja, tapi merupakan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat. Keluarga, para pemimpin agama dan sosial, aparat pemerintah dan penegak hukum harus saling mendukung untuk mencegah terjadinya aksi "begal" ini dalam masyarakat. Presiden Jokowi perlu menjadikan ini sebagai salah satu agenda kabinetnya. Siapa harus berbuat apa harus jelas, dan jangan hanya berupaya menumpas para "begal" itu saja. Mengapa mereka menjadi "begal" juga perlu dicarikan akar masalahnya agar dapat dicarikan jalan keluarnya. Semoga akhirnya Indonesia bisa bebas dari fenomena "begal" yang sudah mulai mengkhawatirkan ini, dan sudah saatnya Presiden ikut bertindak sebelum terlalu terlambat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun