Mohon tunggu...
Andri S. Sarosa
Andri S. Sarosa Mohon Tunggu... Insinyur - Instruktur, Trainer, Konsultan Sistem Manajemen + Bapak yang bangga punya 5 Anak + 1 Istri

Insinyur lulusan Usakti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Risiko dan Peluang Penghapusan Presidential Threshold

4 Januari 2025   08:32 Diperbarui: 5 Januari 2025   08:14 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membangun Demokrasi (Sumber: kompas.id/Heryunanto)

Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus Presidential Threshold 20 persen dan/atau memperoleh suara 25 persen dari suara sah secara nasional dalam Pemilu Legislatif sebelumnya.

Banyak yang menganggap bahwa ini adalah sinyal positif untuk demokrasi di Republik Indonesia karena semua Partai Politik peserta Pemilu memiliki hak untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.

Tapi banyak pula yang memikirkan risikonya di masa depan apalagi demokrasi Indonesia saat ini belum bisa disebut sebagai demokrasi yang dewasa. Hal-hal apapun yang kita lakukan pasti mempunyai potensi risiko dan peluang.

Misalnya, kita biasa menyeberang jalan melalui jembatan penyeberangan lalu kita merubah kebiasaan dengan menyeberang jalan melalui zebra cross. Keduanya memiliki potensi risiko dan peluang:

Jembatan penyeberangan:

  • Risiko: lelah secara fisik karena naik tangga, waktu lebih lama.
  • Peluang: tapi aman tidak mungkin tertabrak kendaraan.

Zebra cross:

  • Risiko: kemungkinan tertabrak kendaraan lebih besar
  • Peluang: tapi waktu lebih cepat dan tidak melelahkan.

Nah, potensi risiko dan peluang apa yang mungkin dapat terjadi dengan dihapusnya Presidential Threshold ini?

Panen Raya Buzzer

Tahun 2024 lalu ada 18 Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu, artinya tahun 2029 akan ada sedikitnya 18 Capres dan Cawapres. Jumlah ini belum ditambah dengan Parpol baru yang mungkin akan bermunculan.

Jika bercermin pada Pemilu 2024 yang hanya memilih 3 pasang Calon, betapa ramainya dunia media sosial dengan ulah para Buzzer yang, bahkan banyak juga, menyebarkan berita hoax menjurus ke fitnah yang akhirnya menular ke dunia nyata.

Bisa dibayangkan betapa crowded-nya dunia maya oleh para Buzzer jika sedikitnya ada 18 pasang Calon di tahun 2029. Jadi persiapkanlah diri kita untuk menyaksikan perang para Buzzer di dunia medsos.

Tapi ini peluang juga buat kita untuk melamar jadi Buzzer Parpol karena tahun 2029 bisa dibilang sebagai panen rayanya para Buzzer.

Biaya Pilpres Membengkak

Dengan sedikitnya ada 18 pasang Calon maka jelas biaya kampanye Parpol makin menggila sehingga Parpol akan berusaha menggali dana dari mana-mana.

Tidak hanya Parpol tapi KPU juga harus persiapkan dana jauh lebih besar daripada Pemilu 2024 yang hanya ada 3 pasang Calon.

Contoh gampangnya, jika 2024 hanya ada 3 team saksi dari masing-masing Calon di tiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) maka 2029 akan ada 18 team saksi di tiap TPS  yang perlu akomodasi dari KPU.

Belum lagi, sudah bisa ditebak, Pemilu 2029 pasti akan 2 putaran karena Calonnya banyak banget sehingga rasanya tidak mungkin ada Calon yang superior perolehan suaranya.

Tapi ini peluang kita juga untuk berpartisipasi meraup cuan dari Parpol-Parpol yang perlu dukungan masyarakat.

Perang Saudara

Ini memang risiko yang tidak diharapkan tapi mungkin terjadi sebab jika salah satu pasangan Calon terpilih artinya tidak didukung oleh 17 Parpol lainnya.

Bisa dibayangkan jika 17 Parpol tersebut menjadi Partai Oposisi Pemerintah yang sah. Kasihan banget, Pemerintah bisa diserang habis di Parlemen atau dimanapun ketika Pemerintah mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan pandangan Parpol lain.

Apakah Presiden bisa di impeachment (pemakzulan)? ... Tentu saja bisa, lha wong 1 Parpol vs 17 Parpol.

Jika Presiden sudah diturunkan, lalu apa yang terjadi berikutnya?

Ganti Presiden atau Pemerintahan itu adalah risiko terkecil tapi bagaimana jika rakyat marah kemudian demo dan ujung-ujungnya kerusuhan yang mungkin menyebabkan perang saudara. Inilah hal yang tidak kita kehendaki.

Karena itu masih ada peluang buat kita untuk menghindari risiko tersebut yaitu dengan melakukan pendidikan Politik kepada anak-anak kita, rekan-rekan kita, masyarakat sekitar ataupun melalui media sosial agar rakyat Indonesia memiliki pandangan demokrasi yang dewasa agar risiko diatas tidak akan terjadi.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun