Mohon tunggu...
Andri S. Sarosa
Andri S. Sarosa Mohon Tunggu... Insinyur - Instruktur, Trainer, Konsultan Sistem Manajemen + Bapak yang bangga punya 5 Anak + 1 Istri

Insinyur lulusan Usakti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pantang Pulang Sebelum Padam

11 September 2023   19:46 Diperbarui: 11 September 2023   20:28 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Kompas.com/Alsadad Rudi)

Ketika surat panggilan dari Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta kuterima, aku langsung sujud syukur. Perjuanganku mengikuti seleksi menjadi petugas pemadam kebakaran tuntas sudah dengan hasil memuaskan, aku diterima!

Menjadi petugas pemadam kebakaran adalah cita-citaku sejak kecil. Dimataku, petugas pemadam kebakaran adalah sosok pahlawan pemberani melebihi seorang Spiderman. Sosok kepahlawanan Arnold Schwarzenegger dalam film Collateral Damage sangat menginspirasiku untuk mengajukan lamaran sebagai anggota pemadam kebakaran. 

Alhamdulillah kini cita-citaku tercapai.

Aku selalu ingat pesan almarhum ayahku, "Carilah pekerjaan yang halal, berapapun gajinya dan apapun resikonya. Yang terpenting adalah pekerjaan itu harus sesuai dengan keinginan dan cita-citamu".

Akupun bersyukur karena aku berhasil meyakinkan ibuku bahwa pekerjaan sebagai anggota pemadam kebakaran bukanlah pekerjaan yang harus dihindari tapi pekerjaan yang mulia karena menolong sesama. Awalnya memang sangat sulit meyakinkan beliau, maklum sebagai anak tunggal, tentu ibuku tidak mau aku mempunyai pekerjaan yang sangat menyita waktu dan membahayakan hidupku. Tapi dengan rayuan khas anak gaul, lebih-lebih dengan surat panggilan ini, ibuku pun pasrah walaupun dari raut wajahnya ada sedikit kekuatiran akan masa depanku.

*

Hari pertama masuk kerja ditandai dengan apel bersama dilapangan. Selanjutnya anggota baru mengikuti orientasi dan pelatihan mengenal tugas pemadam kebakaran dan segala macam teori dan praktek tentang api. Api sangat bermanfaat bagi manusia, tapi sifat api adalah kecil menjadi kawan dan besar menjadi lawan. Karena itu, sebagai anggota pemadam kebakaran harus memahami bagaimana api tercipta, bagaimana api membesar dan bagaimana penanggulangan api yang telah membakar sesuatu.

*

Hari-hari selanjutnya adalah hari stand by bagi kami, para anggota pemadam kebakaran. Saat ini, jumlah personil petugas pemadam kebakaran sebanyak 30 orang. Kami dibagi dalam dua shift selama dua jam. Satu shift berjumlah 7-8 orang, shift kami dipimpin oleh Danton (Komandan Pleton) pak Siswanto. Sisanya ada yang kebagian off. Nah, bagi anggota yang off bukan berarti bebas dari tugas, jika sewaktu-waktu diperlukan maka mereka siap diluncurkan ke lokasi kejadian.

Hari-hari menunggu panggilan tugas pertama adalah hari-hari yang terlama dalam hidupku. Tapi, bukan berarti aku mengharapkan ada kebakaran. Aku hanya ingin mempraktekkan teori-teori api yang kudapat selama ini.

Untuk menghilangkan kejenuhan, biasanya aku mengisi waktu dengan mempelajari peralatan pemadam kebakaran yang ada di kantor. Semua peralatan itu harus siap digunakan sewaktu-waktu.

*

Akhirnya saat yang kutunggu-tunggu tiba juga. 

Raungan sirine pemadam kebakaran pada jam 02.00 dinihari, seakan membangkitkan gelora jiwaku. Aku siap bertaruh nyawa demi menolong sesama! 

Bergegas regu kami bersiap untuk berangkat ke TKP. Sebagai "junior" aku diberi tugas untuk memback-up para seniorku. Kami segera naik ke mobil pemadam kebakaran dan mobil yang dikemudikan pak Waluyo pun meluncur kencang. Pak Waluyo memang piawai mengemudikan mobil pemadam kebakaran.

Mendekati TKP aku jadi bingung, kok tidak ada tanda-tanda cahaya api atau asap di angkasa? 

Saat tiba di TKP, sama sekali tidak ada tanda-tanda rumah yang terbakar. Dari petugas satpam setempat didapat keterangan bahwa tidak terjadi kebakaran di wilayah itu. Pak Siswanto segera menghubungi markas melalui radio, dan akhirnya disimpulkan bahwa itu adalah panggilan palsu!

Oh, inikah tugas pertamaku? ... Hanya melayani penelpon iseng ditengah malam? ... Oh!

"Bekerja di pemadam kebakaran itu memang banyak dukanya. Makanya, kami sudah dilatih untuk selalu bersikap sabar untuk menghadapi berbagai kondisi yang terjadi di lapangan." kata pak Siswanto.

Hmm, inikah salah satu duka seorang petugas pemadam kebakaran seperti yang dialami teman-teman?

*

Beberapa hari kemudian, raungan sirine pemadam kebakaran kembali meraung. Kami pun segera bersiap menuju lokasi TKP, lokasi yang dituju adalah pemukiman warga padat penduduk dibilangan Sunter Jakarta Utara.

Bunyi sirine rombongan mobil pemadam kebakaran kami meraung-raung membelah keramaian arus lalu lintas yang padat di Kota Jakarta. Bunyinya mengalahkan semua kendaraan di jalan raya. Masyarakat pengguna jalan berusaha menyingkir dan mempersilahkan kendaraan pemadam ini untuk lewat.

Pak Waluyo yang mengemudikan mobil benar-benar seperti pembalap nasional, sangat piawai mengemudikan kendaraan ditengah padatnya lalu lintas. Ada rasa bangga saat masyarakat menatap kami. Tidak ada tatapan kesal ketika kendaraan kami menerobos lampu merah.

Tiba di TKP, kami segera bersiap. 

Agak terkejut ketika puluhan warga menghampiri kami yang baru turun dari kendaraan. Tatapan mereka bukan tatapan panik tapi tatapan kemarahan. Mereka merangsek maju berusaha menarik selang air saat kendaraan belum pada posisinya. Sebagian warga bahkan menyoraki kami. Seketika, rasa bangga yang ada didadaku hilang berganti rasa takut.

"Tenang Jo, fokus pada tugasmu!", teriakan pak Siswanto seakan menyadarkanku. 

Rupanya, warga kecewa karena kami dianggap terlambat datang dan bekerja sangat lamban.

Akupun kembali fokus melaksanakan tugas menjadi back-up para seniorku yang berjuang menyemprotkan air ke api yang membubung tinggi.

Seorang ibu dengan wajah panik menghampiri diriku dan berteriak minta tolong karena ayahnya terjebak didalam rumah yang terbakar. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? 

Aku masih terbengong ketika pak Siswanto menarik tanganku untuk segera membantu ibu tersebut.

Segera aku berlari dibelakang pak Siswanto yang menerobos api yang sedang membakar pemukiman kumuh ini. Kuberanikan diriku dengan berteriak, "Inilah saatnya!"

"Jo pasang mata", teriak pak Siswanto.

Dalam posisi beriringan kami pun menyusuri bangunan yang terbakar mencari-cari sosok korban di area bangunan yang ditunjuk ibu tadi. 

Samar-samar kudengar suara orang merintih ditengah puing-puing bangunan.

"Di sebelah kanan Ndan", teriakku pada pak Siswanto. Kami pun segera mengarah ke suara rintihan tadi. 

Kami menemukan seorang bapak terhimpit puing-puing kayu bangunan. Matanya menatapku penuh harap, segera kuhampiri dan kupegang tangannya. Sementara pak Siswanto berusaha mengangkat puing-puing yang menghimpit tubuhnya.

"Tenang pak, sabar pak", hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku.

Aku mulai panik ketika pegangan tangan si bapak mengendur, dan matanya pun mulai menutup, sementara api disekeliling kami makin membesar. Segera kulepas tangan si bapak dan membantu pak Siswanto menyingkirkan puing-puing.

"Tidak mungkin Jo, terlalu berat. Api juga makin membesar", kata pak Siswanto.

"Tapi .. kita harus selamatkan si bapak!"

"Ayo Jo, tinggalkan tempat ini ... tidak mungkin".

"Tapi pak ...".

Pak Siswanto segera menarik tanganku. Aku hanya bisa pasrah sambil menatap si bapak yang telah menutup mata. Situasi memang tidak memungkinkan kami menyelamatkan jiwanya.

Tak terasa air mataku meleleh ketika melihat pak Siswanto memohon maaf kepada si ibu karena gagal menyelamatkan ayahnya.

"Dalam kondisi seperti itu, jiwa kamu tetap lebih penting Jo", bisik pak Waluyo.

*

Tak pelak lagi pengalaman tersebut terus menghantui diriku. 

Tatapan mata si bapak terus terbawa dalam mimpi-mimpiku. Aku gagal menyelamatkan jiwanya. 

Oh Tuhan, seseorang meregang nyawa dihadapanku sementara aku sebagai petugas yang diandalkan tidak berdaya.

Beberapa lama aku harus mendapatkan konseling dari atasanku. Para senior juga tak henti-hentinya membesarkan jiwaku. Dengan melihat manusia dari hidup, minta tolong sampai mati dihadapanku, aku jadi menghargai hidup.

Inilah pelajaran terbesar dalam hidupku yang membulatkan tekad untuk menolong masyarakat yang sedang dalam musibah.

*

Suatu kali, ketika sedang bekerja memadamkan api di sebuah pemukiman, pengalamanku beberapa waktu lalu terulang kembali.

Seorang ibu meminta tolong untuk mengeluarkan ayahnya yang sedang sakit dalam kepungan api. Kali ini aku tidak berpikir panjang, kami menerobos kobaran api bersama partnerku.

Beberapa saat kemudian kami temukan seorang tua yang terbaring sakit dan tak bisa bergerak di kamar tidurnya. 

Ketika kami hendak menolongnya, orang tua itu berkata:

"Tidak usah pedulikan saya, selamatkanlah orang yang sehat terlebih dahulu."

"Bisakah bapak memberi tahu saya alasan bapak berkata begitu?" tanyaku berusaha tenang.

"Saya merasa ini adalah pilihan yang paling baik dan adil," kata si bapak. "Yang kuat harus didahulukan karena mereka bisa menyumbangkan tenaganya dan memberikan jasanya lebih banyak dibandingkan orang yang lemah dan sakit-sakitan seperti saya."

Aku terkejut mendengar jawaban si bapak dan merenung sejenak, lalu aku berkata "Saya bisa saja mengabulkan permintaan bapak, tapi coba bapak jelaskan, tugas dan jasa-jasa apa saja yang bisa diberikan oleh orang yang sehat dan kuat?"

"Tugas orang yang lebih kuat adalah membantu orang yang lemah."

"Saya mengerti bahwa bapak berada dalam kondisi kurang sehat, tapi saya-lah orang yang sehat dan kuat itu."

Lalu aku mengangkat si bapak dari tempat tidurnya dan menyelamatkannya keluar dari rumah yang terbakar.

*

Peristiwa-peristiwa berikutnya membuat diriku semakin matang. 

Rintangan yang ada selama kami berjibaku memadamkan api kebakaran, satu persatu berhasil kami lewati. Kami merasa puas dan bangga sekali bisa membantu orang yang dalam kesusahan, tak jarang kami berteriak kegirangan dan bernyanyi bersama setelah berhasil memadamkan api. Pokoknya, ada suatu kepuasan bathin.

Terlebih ketika aku dan pasukanku tengah duduk letih di pinggir jalan usai pemadamaman di daerah Tanah Abang.

Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri kami sambil memberikan sebungkus gorengan. Seorang gadis cantik memberikan bungkusan sambil mengucapkan terima kasih kepada kami dan berlalu begitu saja, sungguh suatu kebanggaan di tengah cacian warga yang tak puas dengan kinerja pemadam kebakaran, masih ada saja orang yang peduli dengan kami.

*

Malam itu aku kebagian jatah piket di Kantor Sudin Damkar. Pukul 23.00 WIB, telepon berdering, ternyata ada laporan kebakaran di Gunung Sahari. 

Segera aku bunyikan sirine dan kami pun langsung bergegas menuju TKP.

Gumpalan asap sudah membumbung tinggi saat itu. Api telah menghanguskan beberapa bangunan ruko disana. Pasukan kami dengan sigap menurunkan selang air menuju titik api. Saat itu sangat kacau karena banyak warga yang mengungsi. Sebagian meminta petugas menyiram rumah mereka agar api tidak merambat.

Tugasku sebagai tim penyelamat segera menerobos kedalam ruko. Pintu rolling door berhasil kami bongkar kamipun segera memeriksa kondisi lantai satu. 

Tidak ada apapun disana. Pak Siswanto menunjuk aku untuk mendampinginya ke lantai dua, yang lainnya stand by ditempat. Kami hanya punya waktu 10 menit untuk evakuasi korban. 

Kamipun segera naik ke lantai dua dengan formasi beriringan saling melindungi. Secara naluriah, korban kebakaran ruko biasanya naik ke lantai yang lebih tinggi dan berlindung di kamar mandi.

Di lantai dua tidak ditemukan apa-apa.

Saat itu, api sudah berkobar dilantai dua dan tiga tapi pak Siswanto tetap bertekad untuk memastikan tidak ada korban hidup yang terperangkap disana. Kamipun segera bergegas naik ke lantai tiga. Panasnya minta ampun, untung kami membawa tabung oksigen, jadi masih bisa bernafas dengan baik.

Api dilantai tiga ruko lebih hebat daripada lantai dua, baju tahan api yang kami kenakan masih mampu melindungi tubuh kami.

Sasaran yang dituju telah kami jumpai. Dengan sekali dobrak, pintu kamar mandi pun terbuka. Kami temukan keluarga pemilik toko, ayah, ibu dan satu anak, sedang berlindung ketakutan disana.

Segera pak Siswanto melakukan evakuasi korban. Aku diperintahkan jalan didepan, sementara pak Siswanto berada pada posisi belakang. 

Saat mendekati anak tangga, tiba-tiba kudengar atap bangunan runtuh disertai teriakan pak Siswanto. Ternyata pak Siswanto tertimpa reruntuhan bangunan. Aku berbalik untuk menolong komandan, tapi pak Siswanto memerintahkan aku untuk menyelamatkan korban lebih dulu. 

Awalnya aku ragu. Tapi teriakan pak Siswanto, "Ini perintah!" membuatku segera melanjutkan mengevakuasi korban.

Korban berhasil kuselamatkan ke lantai satu dan diterima oleh pak Waluyo yang siaga disana. 

Lalu aku segera berlari untuk naik lagi ke lantai tiga.

"Hei mau kemana kamu Jo", teriak pak Waluyo.

"Pak Siswanto perlu ditolong", jawabku.

"Bahaya Jo ... bangunan mau runtuh".

Aku tidak peduli, tujuanku hanyalah bagaimana menyelamatkan pak Siswanto dilantai tiga.

Tiba dilantai tiga, aku segera menyingkirkan reruntuhan atap bangunan yang menimbun pak Siswanto. Ajaibnya Pak Siswanto hanya cedera ringan dan berhasil aku evakuasi.

"Kamu bodoh sekali, menolong aku ... bangunan sudah colaps tau!"

"Bapak bisa berjalan kan?" Aku tidak memperdulikan makian pak Siswanto. "Cepat bapak jalan duluan, aku jaga bapak dari belakang"

Baru beberapa langkah, kudengar suara bergemuruh, suara tembok bangunan disamping pak Siswanto yang runtuh, aku dorong pak Siswanto agar terhindar dari bahaya, tapi sial ... kepalaku malah kena runtuhan tembok, sontak aku terjatuh. Reruntuhan demi reruntuhan menimpa tubuhku. Bara api-pun menjalar disekitarku.

"Bejoooo ...", teriak pak Siswanto.

*

Kakiku tidak bisa digerakkan, tubuhku luar biasa sakit, kepalaku pusing sekali ... darah mulai mengucur dari mulut dan hidungku. Panas ... panas sekali api yang ada disekelilingku. Sepertinya baju tahan api yang kukenakan tidak lagi melindungi diriku. Aku ingin sekali berteriak tapi kenapa tidak bisa.

 Oh Tuhan, tanganku mulai membara, ah .. rasanya luar biasa panas. Pusing dikepala sudah tidak kurasakan lagi, kini panas bara api yang kurasakan disekujur tubuhku ...

Sesaat kemudian aku tidak merasakan apa-apa lagi, hanya hawa sejuk menyelimuti diriku. 

Tidak ada rasa sakit, tidak ada rasa panasnya api. 

Kutatap langit, bukan gelapnya malam yang kulihat tapi sinar terang seperti matahari, dan sepertinya .. aku lihat wajah ayahku tersenyum padaku.

Kutatap sekitar, kulihat pasukan pemadam kebakaranku yang gagah berani sedang berdiri membentuk lingkaran, raut muka mereka tampak sedih dan beberapa anggota seperti sedang menangis sambil melihat sosok tubuh yang hangus terbungkus kantong mayat.

Itukah jasadku?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun