Selfie mungkin adalah suatu hal yang lumrah terjadi di kalangan masyarakat, apalagi untuk mereka yang aktif sebagai pengguna sosial media. Salah satu tujuan mereka tidak lain adalah untuk mendulang likes sebanyak-banyaknya. Dengan begitu mereka bisa mendapatkan kepuasan dan kebanggaan tersendiri. Namun sayangnya, sejumlah orang tanpa pikir panjang justru juga memanfaatkan lokasi bencana alam sebagai tempat untuk berselfie ria.
Hal tersebut disoroti salah satu media asing Inggris. Ada beberapa perempuan yang datang ke lokasi bencana tsunami di Provinsi Banten untuk mendapatkan background selfie "kekinian".Â
Ada yang datang dengan niat untuk memberikan bantuan, adapula yang sengaja datang untuk melihat kondisi dan kerusakan yang ada. Mereka bahkan rela menghabiskan berjam-jam untuk datang ke lokasi hanya untuk melakukan hal tersebut.
Foto-foto tersebut nantinya akan diupload ke sosial media, seperti facebook, whatsapp, dan lainnya. Berdalih untuk menginformasikan kepada khalayak untuk turut berempati terhadap korban atas musibah yang terjadi, mereka berpendapat hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Akan tetapi, bertolak belakang dengan alasan yang disampaikan, foto tersebut tidak menunjukan adanya ekspresi berduka, mereka tersenyum dan salah satunya menampilkan pose jari "V" dihadapan kamera.
Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari hal serupa sering terjadi. Misalnya saja ada sebuah kecelakaan di depan mata anda, apa yang akan anda lakukan pertama kali? menolong atau mengabadikan moment?Â
Kebanyakan dari kita akan langsung mengeluarkan smartphone, memotret, memvideo dan mengaploadnya disertai dengan sedikit caption. Tindakan tersebut tidaklah sepenuhnya salah, itu bisa menjadi cara tercepat untuk menyebarkan informasi.Â
Masalahnya terletak pada etika dan rasa empati masyarakat. Apakah setelah memotret anda langsung menolong? Kenyataannya lebih banyak yang hanya merasa cukup dengan menolong untuk menyebarkan informasi di akun media sosialnya. Apalagi kejadiannya seperti yang dipaparkan di atas.Â
Etikanya, saat orang lain sedang dilanda kesulitan, tampilkanlah rasa empati kepada mereka paling tidak saat berhadapan atau berada dilokasi kejadian. Sorotan media asing terhadap hal ini merupakan sebuah tamparan keras bagi kita. Mungkin ini tidak hanya terjadi di negara kita, tapi saat kejadian ini dibicarakan negara asing, sedikit banyak itu bisa mempengaruhi citra masyarakat Indonesia di mata dunia.
Media sosial terkadang membuat kita lebih mementingkan penilaian orang lain di dunia maya daripada di dunia nyata. Penilaian tersebut kadang dilihat dari banyaknya followers, likes, dan comment pada akun media sosial yang dimiliki. Itulah yang kemudian memicu masyarakat untuk melakukan sesuatu tanpa memerhatikan nilai-nilai sosial. Dari hari ke hari, tanpa disadari etika dan rasa empati yang ada pada manusia semakin terkikis. Pahit memang, tapi begitulah fakta yang harus kita telan.
Bijaklah dalam bermedia sosial. Seperti kata pepatah, mulutmu harimaumu. Di era ini postinganmu juga bisa menjadi harimaumu. Silahkan selfie, tapi perhatikan etikanya. (jeem)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H