Setelah mempublikasikan kisah ‘Surat Yang Dicuri’ beberapa tahun yang lalu, Monsieur Bertin – kepala editor untuk koran Journal des débats – mendekatiku dan mencoba bernegosiasi tentang semua tulisan yang mengisahkan keterlibatan sahabatku, sang analisis jenius C. Auguste Dupin. Ia berharap akan ada kisah lain yang nantinya bisa dipublikasikan korannya. Ia mengaku bahwa kisah ‘Surat Yang Dicuri’ telah menaikkan oplah penjualannya dalam waktu yang singkat. Aku rasa tidak ada alasan menolak tawarannya selama itu bisa menghasilkan beberapa Franc untuk membantu keadaan finansialku, khususnya untuk kebutuhan domestik mengingat keadaan ekonomi Perancis melanjok turun pasca revolusi yang terjadi di tahun lalu.
Meski banyak masyarakat Paris yang menyukai kisah sebelumnya – termasuk menyukai Dupin yang piawai menunjukkan metode rasioniasi – namun kebanyakan dari mereka menganggap sosoknya adalah fiksi semata. Hal itu bisa dimaklumi mengingat Dupin adalah sosok inferior yang menarik diri dari masyarakat. Dupin dan aku menempati rumah yang hampir tumbang di Rue Dunot, Faubourg St Germain 33, tepatnya di sudut jalan yang sepi. Lokasinya sendiri menjorok ke dalam sehingga luput dari perhatian masyarakat sekitar. Apalagi dengan kebiasaan Dupin yang tidak pernah menampilkan dirinya di waktu siang hari dan berbaur dengan masyarakat sekitarnya. Alih-alih keluar untuk bersosialiasi dengan masyarakat, ia malah memilih untuk menarik semua tingkap jendela, menyalakan lilin, dan kemudian melakukan kegiatan di dalam rumah atau membaca buku di perpustakaan kecil miliknya di bagian belakang rumah. Begitu matahari tenggelam berganti dengan sinar rembulan, Dupin baru bersiap melangkahkan kakinya dan menyusuri kota. Ketertarikannya kepada kegelapan dan suasana malam pastinya akan dianggap ganjil oleh orang lain pada umumnya.
Namun malam ini, Dupin nampaknya tidak berniat untuk meninggalkan ruang perpustakaan sekalipun. Padahal suasana malam kota Paris di awal bulan September memiliki atmosfir yang cukup baik untuk bertamasya keliling kota. Musim panas segera berakhir dan berganti musim gugur, tentunya suasana sangat menyenangkan. Tapi yang terjadi ia malah menenggelamkan diri di kursinya sambil membaca sebuah buku karangan Voltaire – nama pena dari penulis dan filsuf François-Marie Arouet – sambil menghembuskan bergulung-gulung asap yang dikeluarkan dari rokok pipa meerschaum yang sedang dihisapnya. Aku merasa tergelitik untuk mengusik kegiatannya dan mengajaknya keluar malam ini.
”Apa kau tidak berniat untuk menikmati cahaya bulan malam ini?” tanyaku dengan hati-hati. Tidak ada jawaban darinya. Bahkan menolehkan kepalanya pun ia tidak melakukannya. Tampaknya tulisan Voltaire menarik jiwa dan pikirannya ke alam indah yang tidak akan membawa dirinya kembali.
Setelah beberapa saat, aku kembali bertanya kepadanya. Namun kali ini dengan pendekatan yang sedikit berbeda.
”Apakah ada sesuatu yang menarik dari kisah …ehm… Zadig ou la Destinée?”
Sepertinya usahaku yang ini sedikit berhasil. Dupin menarik nafasnya sambil meletakkan pipa rokoknya. Ia menolehkan kepalanya kepadaku dengan tatapan yang datar.
”Untuk dapat mendapatkan manisnya surga, seseorang harus merasakan pahitnya neraka,” kata Dupin kepadaku. “Terdengar klise? Tapi kira-kira inilah yang dituangkan oleh Voltaire melalui kisah Zadig, seorang filsuf muda dan cerdas asal Babylonia. Mengalami delusi dengan kisah cintanya, ia mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan. Namun berungkali harus merasakan kehidupan suram dalam penjara. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Termasuk dihukum menjadi budak karena dia membunuh sesorang pria di Mesir lantaran melindungi seorang wanita dari ancaman pria tersebut. Dan diakhir cerita, kau pasti tahu apa yang terjadi? Zadig pun menjadi seorang yang paling bahagia di dunia.”
“Semua cerita dongeng memang berakhir begitu bukan?” aku menimpali pertanyaannya dengan pertanyaan lain.
“Tapi ini bukan sekedar dongeng semata. Voltaire memberikan argumentasi dan silogisme melalui cara pandang Zadig ketika ia menemukan masalah. Kemampuannya menganalisa suatu permasalahan yang telah membawa dia meraih kebahagian. Dan itu seharusnya yang harus dipetik setiap orang. Zadig adalah tipikal tokoh yang bangkit dari jurang kegagalan, keluar dari sarang singa dengan gagah meski tubuhnya dipenuhi dengan cakar. Dan yang paling penting dia belajar dari kesalahan dan tidak mengulanginya lagi.”
”Jadi karena kegagumanmu akan Zadig yang menjadi penyebab kau melupakan kecondonganmu pada kebiasaanmu yang suka bertamasya malam?”