Untuk kekasihku tercinta, Bambang Eko Hidayat
“Suatu saat ketika kita menghadapi masalah, kita akan ingat, bahwa kita pernah berjuang untuk ini, bahwa kita pernah melalui yang lebih menyakitkan dari tajamnya duri dan panasnya bara api. Lalu kita akan saling memandang dan tersenyum kembali”
Rabu, 20 November 2014
Sudah tiga hari sejak Senin lalu, tak sesuap nasi pun masuk kerongkonganku, tak seteguk pun air memuaskan dahagaku. Aku, di kamarku sendiri, terkurung. Ku ingat-ingat lagi apa yang telah terjadi, apa yang telah ku lalui.
10 Maret 2014, diesnatalis KSB Unlam
Malam itu Mina ke rumah, menjemputku untuk menghadiri diesnatalis Kampoeng Seni Boedaja (KSB) Unlam. Disitulah kami bernaung. Disana kami belajar berorganisasi, belajar mencintai seni daerah kami, belajar mencintai dangsanak-dangsanak kami. Meski kami –aku, Mina dan Dara– bukan termasuk orang-orang yang aktif berkecimpung disana, tapi kami akui kami mencintai dan bangga bahwa kami anggota KSB.
Aku yang masih dalam suasana “tak karuan” karena masih saja susah move on pun segera menyiapkan PDL hitamku. Setelah mencium tangan Bapak Mama ku, kami meluncur ke rumah Dara –dia tak mungkin berani berangkat sendiri malam-malam begini jika mengendarai motor. Dan ternyata Dara sudah menanti di depan rumah, bergegaslah kami.
Di sekretariat KSB, tempat acara diadakan, rupanya masih sepi, kami pergi ke warung Alan untuk mengisi perut, sambil berselfie-selfie ria, lama tak bertemu mereka. Sejenak, aku lupa keluh kesahku.
Sekembalinya kami, acara sudah dimulai, permainan musik panting, tari-tarian, aaah, hanyut aku dalam sukacita. Kenapa rasanya tak pernah bosan bila berlama-lama disuguhi sajian macam ini. Beberapa kali aku mengambil gambar penari. Disana kami bertemu dangsanak, Fajar, Umi, Hana, Dina. Kami bertiga –Paracit– yang terkenal pemalu, tak pernah bisa menyapa, untungnya para paman dan acil* berbaik hati untuk menganggap kami “ada”.
Waktu selalu cepat berlalu bila kami berada dalam riuhnya suasana seperti ini. Pukul 22.00 dan kami harus kembali ke kandang meski acara baru saja terasa ramai. Berpamitan kami kepada paman-paman apor*. Paman Adoey, paman Icin, paman Wanyi, paman Bemby. Kebiasaan kami untuk bersaliman dan mencium tangan para apor tanda hormat kami. Malam itu, paman Bemby lama menggenggam tanganku. Hem, semakin malu aku, muka tak tau lagi dimana menaruhnya, ingin cepat-cepat pulang. 1 detik, 2 detik, 5 detik, masih saja tangan kami bertautan, sambil paman Bemby berujar “handak kemana’an? Minta pin buhan kam betiga dulu trio paracit” daaan 30 detik ketika beliau mengeluarkan BB nya baru lah dilepaskannya tanganku. Masing-masng kami menunjukkan barcode kemudian baru bisa pulang.
*dangsanak (banjar) = saudara
*dalam KSB, anggota-anggota penuh dipanggil dengan sebutan paman (laki-laki) dan acil (perempuan).
*apor = angkatan pelopor, para pelopor berdirinya KSB. Ada tujuh orang apor, mereka paman Hasbi Rifani (paman Ziboent), paman Bambang Eko Hidayat (paman Bemby), paman Adi Rosadi (paman Adoey), paman Rizal Muhlisin (paman Icin), paman Maulidi (paman Wanyi), paman Halidi (paman Ajay), paman Wawan Setiawan (paman Wawan)
Beberapa hari kemudian aku mengganti Display Picture. Foto ketika aku di pantai angsana. Duduk di sebuah perahu, memandang ke arah laut. Tiba-tiba, bunyi khas BBM menyapaku, paman Bemby.
“Foto dimana itu cil”
“Angsana paman”
“Bagus cil lah. Pabila ada rencana kesitu lagi, bawai paman lah”
“Kasi paman, atuuuuur”
“Paman hanyar-hanyar ini ketuju pantai cil ae. Biasanya dataran tinggi ja, gunung terus. Kalau gunung, dari bahari dah ketuju. Semalam latap* KSB ke pantai. Kasi cil, kena paman jadi jokinya gampang ja”
“Tapi buannya nih bisa kada hakun mun bekendaraan paman ae. Uyuh, 5 jam semalam kami kesana”
“Bawai pacar cil ae, jadi kada uyuh”
“kami kededa yang bisi pacarnya paman ae. Wkwk”
“jadi pacar paman aja mun kytu cil, paman jomblo jua”
“wkwk, apa kah jar paman nih”
Sejak saat itu kami sering berkomunikasi di dunia maya. Ku kagumi sosoknya yang cerdas, ku kagumi kerendahhatiannya, namun tetap terlihat intelek, bahkan aku mengagumi sombongnya. Semuanya menjadi perpaduan yang pas dalam dirinya. Semakin hari, semakin intens saja beliau menghubungiku. Hei, tiba-tiba saja aku bisa tertawa setelah malam-malam sebelumnya sesenggukan, tiba-tiba saja aku punya teman setelah sepi menawan, tiba-tiba saja aku move on. Terimakasih paman Bemby.
Obrolan kami tidak kosong, kadang ringan, kadang berat, kadang aku harus berpikir banyak dan berpikir keras ketika meladeni omongannya, tapi jika sudah lelah kami tertawa, takang. Tapi itulah yang menarik, aku belajar banyak darinya, bahwa hidup itu seadanya saja, tak perlu dibuat-buat. Jika ada yang bertanya apa pekerjaannya? Tukang bengkel, jawabnya, atau manurih*. Ku ketahui juga dia disabilitas, tangan kirinya sudah tidak berfungsi lagi, semua dilakukan dengan kanannya. Sejak kecelakaan maut itu, dia tetap menjalani hidupnya, walau tak dipungkiri ada beberapa hal yang berubah, katanya. Tapi yang jelas, tidak ada yang berubah setelah aku mengetahui hal itu. Bahkan semakin hari kami saling mencari.
Tak berapa lama berselang sejak aku mengenal paman Bemby, mama juga mengenalkan aku dengan anak kawannya. Atas dasar persahabatan orang tua, ku coba juga menerimanya menjadi pacar, alih-alih membahagiakan orang tua kami, siapa tau cocok. Jalan kami begitu mulus. Jalan kami lempeng. Sayangnya, hatiku juga ikut-ikutan lempeng.
*latap = latihan pemantapan
*manurih = mengambil getah pohon karet
Seorang teman sejawat di yayasan, ku ketahui sangat ingin mengetahui negeri atas awan. Katanya, pagi hari Mandiangin seperti berada di atas awan. Kami berencana kesitu dengan beberapa teman lain. Ternyata memang hanya kami berdua yang bersemangat. Ku sampaikan niatku pada si pecinta gunung. Ia berbaik hati mau menemani, mengingat kami hanya berdua saja, perempuan pula. Kami, pemula, Mandiangin juga sudah dijadikan anak muda ibukota Kalimantan Selatan sebagai tempat bermalam minggu atau mengadakan latdas. Malam minggu ini pun kami banyak kawan, sepanjang jalan mencari tempat mendirikan tenda, ada saja orang-orang yang kami temui.
Tenda didirikan, api sudah dinyalakan, paman Bemby cepat bisa mengakrabkan diri, senang mereka bisa bercengkrama begitu, sedang aku? Duduk dekat api sambil memandangi mereka. Sayangnya aku ini tukang tidur, sebentar saja sudah dibelenggu kantuk. Ku hampiri matras, tak berniat tidur dalam tenda, menikmati tidur beratapkan langit, di bawah bintang-bintang. Sebentar saja, aku terlelap dalam sleeping bag yang dipinjamkan paman Bemby padaku, padahal aku masih merasa gerah karena semalaman duduk dekat api. Semakin mendekati pagi, ternyata kaki dan tanganku membeku, sleeping bag tidak membantu. Tapi segera hangat menyelimuti saat kurasa ada tangan yang menggenggamku, tangan yang sama dengan waktu itu. Tangannya hangat, sungguh. Di malam yang sedingin itu bagaimana bisa dia punya tangan sehangat ini? Nyaman sekali tidurku ini.
Katanya aku mendengkur, katanya aku mengigau, katanya saat tidur aku tak bisa diam. Mana aku tau? Aku kan sedang tidur.
Setelah hari itu, ku sampaikan pada mama bahwa aku ingin bersamanya. Mama sedikit banyaknya jelas tak terima pilihannya harus kalah saingan dengan orang lain, disabilitas pula. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, dipikirnya aku akan mudah bosan seperti dulu-dulu, dipikirnya ini hanya pacaran semata. Tapi aku dan Bemby (keluar dari konteks apor) ternyata tak sedangkal itu. Dulu kami tak saling sapa, tapi sekarang kami dekat bagai terkena lem cinta perekat, mama mulai gusar, dilarangnya aku kemana-mana, apa-apa diintrogasi, kemana-mana dihubungi. Ini hidup seperti bukan punyaku sendiri.
Karena mama dan bapak tak pernah mengizinkan kami bertemu, bahkan di rumah sekalipun, kulakukan apa-apa yang bisa membuatku melepas rindu dengannya, bahkan menjadi pendusta. Aku berkata kesini padahal kesitu. Salah memang, tapi aku bisa apa? Haruskah aku memaksanya ke rumah sedang di rumah ekspresi mereka berbeda?
Kami temukan hal yang membuat kami semakin rekat. Gunung. Aah, di saat anak-anak muda meramaikan mall, kami menikmati untuk mencintai gunung. Pegunungan meratus, awal mula dia memperkenalkan gunung padaku. Dia memang lebih berpengalaman, gunung adalah sahabatnya, orang-orang dayak itu tuan rumahnya dan air terjun itu pemuas nafsunya. Dan semua itu nyatanya lebih mengasyikkan, untukku yang pemula.
Mencintai gunung bukan perihal memamerkan gambar-gambar selfie ke dunia maya, mencintai gunung itu bagaimana kita menyapanya, bercengkerama dengannya, serta tak membunuhnya. Jangan pernah membuang sampah di gunung, pecinta gunung akan marah besar padamu. Pecinta gunung tak mau gunungnya kotor, lebih baik dia becek, terjal berbatu daripada penuh sampah plastik yang baru bisa hancur ribuan tahun lamanya itu. Pesan dari sang pecinta, jangan ambil apa pun selain gambar, jangan bunuh apapun selain waktu, dan jangan tinggalkan apapun selain jejak.
Di gunung kami seperti kehilangan beban, semua terasa ceria, hilang sudah masalah semalam berganti asa. Orang dayak, meski tak beragama, nyatanya lebih mulia sikapnya daripada orang-orang terhormat yang menduduki kursi di atas sana. Kepada pendatang seperti kami, disuguhinya kami aneka hingga kami merasa punya saudara walau tak pernah bersua sebelumnya, walau dilahirkan dari rahim yang tak sama, walau jauh berbeda dalam segala.
Baru dua kali dia ajak aku mendaki, rasanya ingin lagi dan lagi, Rempah Menjangan destinasi selanjutnya. Meski sebelumnya latdas KSB juga harus disapa, di Mandiangin saja. Teman sejawat tak lupa ikut serta, sebagai tamengku dari orang tua. Malu benar aku disitu, biasanya aku selalu bersama trio paracit, kali itu aku dengan kekasihku. Gurauan-gurauan dari anggota lainnya membuatku tak bisa mengangkat kepala. Untung juga pipi merah tanda tersipu tak mampir di kulit gelapku. Tapi mereka semua baik hati, mau memahami keadaanku yang memang malu-malu.
Tak mengerti aku, sepulangnya latdas, di rumah aku dihubungi famili dari muara berlaga, Jakarta sana. Aku tak mau bicara, selama ini mereka selalu mendengarkan kata-kata mama dan menekanku. Sedikit lagi aku bisa gila. Kejadiannya terasa sangat cepat, aku menolak, mama memaksa, bapak berteriak, aku berteriak, aku menangis, aku dipaksa. Lagi. Sesuatu seperti menekan hatiku. Batinku. Pikiranku. Sesak ya? Sesak. Tersedu-sedu aku. Kuguyur kepalaku di kamar mandi. Air mata dan air pancuran tak dapat dipilah lagi. Menyatu. Sambil sesenggukan, mulutku berucap
“Ma, restui ulun, ulun janji jadi istri yang baik, kada marah-marah, patuh sama suami”
“Ma, restui ulun, ulun janji jadi istri yang baik, kada marah-marah, patuh sama suami”
“Ma, restui ulun, ulun janji jadi istri yang baik, kada marah-marah, patuh sama suami”
“Ma, restui ulun, ulun janji jadi istri yang baik, kada marah-marah, patuh sama suami”
“Ma, restui ulun, ulun janji jadi istri yang baik, kada marah-marah, patuh sama suami”
Aku tak diperbolehkan bekerja, aku tak diperbolehkan keluar rumah, handphone disita, aku tak punya apa-apa, tak bisa menghubungi siapa-siapa. Walau makanan selalu disediakan tiap waktunya, belaian kasih sayang pun tak kurang dari mereka. Tapi bagaimana aku bisa makan jika batinku tersiksa?
Pak,
Ma,
Dengarkan anakmu ini
Aku sadar, masih waras
Hanya saja aku punya keinginan yang bertentangan dengan kalian.
Tapi itu bukan berarti aku gila.
Hingga kini, disinilah aku. Terkurung di kamarku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H