Pengantar :
Tulsan ini sudah saya publikasikan di laman facebook lebih dari 5 tahun lalu. Saya mengutip ulang persis seperti aslinya dan menampilkan kembali di akun kompasiana ini karena menganggapnya masih sangat relevan untuk mengimbangi tulisan Tommy Firman berjudul "Jawa sebagai Pulau Kota" di harian Kompas 17 Januari 2015 kemarin. Tentu bukan soal substansi artikel itu - yang menurut saya basi karena telah diketahui dan dimaklumi khalayak ramai - tapi karena ia tak bergeming dengan 'tuntutan' yang disuarakan tulisan saya di bawah.
("Orang-orang yang terbiasa patuh, tak mengerti bahwa kritik juga satu bentuk dukungan agar yang dikritik tidak salah jalan lagi" - Goenawan Mohamad @gm_gm 11 Jan 2015)
Silahkan dibaca bagi yang berkenan.
***
Mengapa ada polisi?
Jawaban yang singkat dan sederhana adalah agar para penjahat ditangkap dan tidak bergentayangan mengganggu ketentraman umum. Itu institusinya. Kalau para oknumnya tentu seperti manusia yang lain. Tidak semua baik dan kenyataannya memang banyak yang jahat. Kualitas jahatnya juga bervariasi. Ada yang sedikit jahat, agak jahat, jahat yang sedang-sedang saja, cukup jahat, bahkan sangat jahat. Sekali lagi, itu manusiawi. Tapi yang pasti, ada dan banyak oknum polisi yang baik. Saya kurang sependapat jika dikatakan cuma almarhum pak Hoegeng dan polisi tidur yang baik. Diantara mereka yang disebut polisi banyak kok yang sedikit baik, agak baik, baik yang sedang-sedang, cukup baik, bahkan juga sangat baik.
Polisi milik semua orang tanpa pandang bulu : baik konglomerat maupun gembel di kolong jembatan, dari bintang sinetron hingga pembantu rumah tangga, mulai dari presiden hingga orok yang baru lahir!
Lalu bagaimana dengan dokter? Mengapa mereka ada?
Jawaban gampangnya ya karena ada orang yang sakit! Sebagai profesi, kedokteran sekarang memang telah berkembang pesat. Bahkan kini, hal yang diobati sudah termasuk kategori sakit iman. Misalnya seperti pasien yang ingin tetap terlihat muda dan cantik sehingga sang dokter perlu mengobatinya melalui operasi plastik. Dokter juga manusia jadi ada yang jahat dan tentu banyak yang baik. Tapi, seperti ahli hukum yang berprofesi pengacara, tidak mudah memberi cap jahat atau baik bagi mereka yang berprofesi dokter. Mekanisme pasar dan seleksi alam yang "terekayasa" memungkinkan dokter, pengacara --- juga arsitek, akuntan, pelukis, serta profesi dan keahlian sejenis yang lain --- melakukan praktek tebang-pilih jika mereka memang menginginkan.
Supir metromini yang untuk mengejar setorannya saja sudah jumpalitan bisa dipastikan tak pernah berfikir minta bantuan pengacara beken yang sering tampil di televisi untuk menangani kasus pemerasan yang dilakukan polisi lalu-lintas di tempat ia mangkal secara liar. Alam kehidupan kini telah merekayasa daya nalar sang supir sehingga membunuh nyalinya untuk meminta bantuan kepada sang pengacara. Padahal, bisa saja sang pengacara bersedia membantu sang supir secara probono. Banyak kok diatara pengacara necis dan parlente itu yang menyediakan layanan profesi cuma-cuma sebagai bagian dari komitmen sosialnya.