Kini, pemaknaan istilah itu rupanya telah meluas. Tak lagi bagi mereka yang 'dikenal' nekad beradu jotos ---berkelahi secara fisik hingga mencederai bahkan menghilangkan nyawa orang lain --- sekedar untuk memenuhi kehendak maupun menyelesaikan perselisihan. Prilaku intimidatif itu berkembang untuk menciutkan nyali yang lain sehingga akhirnya mereka cenderung atau terpaksa mengalah, menghindar, bahkan menghambakan diri. Intinya, terjadi pengkondisian yang tak setara dan berimbang. Para preman, seperti biasanya, memaksakan kehendak agar menguasai berbagai keistimewaan.
Tabiat buruk itu ternyata telah merasuk mereka yang 'memiliki' bermacam jenis 'kelebihan' yang lain. Mulai dari otoritas yang diamanahkan untuk menjalankan pemerintahan, pengaruh politik, kedudukan sosial dan kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga keimanan dan pemahaman agama.
Pangkal soalnya mungkin pada kesepakatan. Baik yang berlaku formal maupun informal.
Mereka yang 'disepakati' memiliki dan menguasai 'kelebihan' itu lalai, abai, bahkan sengaja menyalah-gunakannya. Padahal, kita selalu mengagungkan ungkapan 'mensyukuri segala nikmat Tuhan untuk kebahagiaan hidup dan kesejahteraan bersama seluruh umat manusia'.
Bukankah semestinya 'kelebihan yang dimiliki' itu didaya-gunakan untuk mencerahkan yang lain?
Lihat betapa tololnya kita sekarang!
Sungguh sangat tak terhitung waktu, energi, materi, dan perasaan yang disia-siakan hanya untuk saling menjatuhkan calon-calon pemimpin yang telah bersedia menampilkan dirinya ke depan. Sudah barang tentu mereka semua adalah sosok-sosok istimewa dan terpilih. Jika tidak, bagaimana mungkin mampu mencapai status calonnya itu?
+++
Tapi ternyata, kearifan manusia sebagai makhluk sosial yang kodratnya selalu hidup bersama dengan yang lain itu, semakin sirna dan kita semua turut tidak memperdulikannya!
+++
Semua karena label-label subyektif yang hampir diluar kekuasaan kita sebagai manusia.