Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menakar Peluang Revolusi Pertelevisian Indonesia: Industri Budaya yang Salah Urus (1-2)

27 Oktober 2015   13:04 Diperbarui: 27 Oktober 2015   13:19 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tulisan ini merupakan bab 2 dari bagian pertama sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya (lihat http://www.kompasiana.com/jilal.mardhani/menakar-peluang-revolusi-pertelevisian-indonesia-industri-budaya-yang-salah-urus_562a527950f9fd0411c2d2d2).

Kali ini catatan kaki saya pindahkan ke bagian akhir karena tampilan pada tulisan sebelumnya yang meletakkannya sebagai keterangan dengan tanda kurung dan huruf miring dirasakan cukup mengganggu.

Tulisan ini juga telah diselesaikan pada tahun 2008 lalu. Publikasi kali ini juga tidak melakukan perubahan apapun. Mohon dimaklumi jika data pendukung maupun nuansa yang tersirat terbatas hingga tahun itu. Meski demikian, mudah-mudahan tetap dan masih relevan dengan esensi yang ingin disampaikan.

Bab-bab lainnya akan segera menyusul.

Terima kasih, Jilal Mardhani

 

_______________

BAB 2

Lompatan Budaya atau Budaya Melompat-lompat?

 

Disepelekan vs Menyepelekan

 

Kendali dan campur-tangan berlebihan pemerintah terhadap media televisi memang bukan hal yang semestinya. Tapi kebebasan berpendapat bukan pula berarti membiarkan para pengelola media elektronik tersebut boleh semena-mena, semata mendahulukan kepentingan komersial, serta melepaskan tanggung jawab dan mengesampingkan kepentingan umum yang lebih luas. Seperti yang terjadi dalam berbagai kasus lain, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto gagal mengawal sebuah proses transformasi yang semestinya dilakukan. Seharusnya rezim pemerintahan masa itu menyiapkan terlebih dahulu sebuah platform nasional, sebelum menghadirkan pihak swasta untuk meramaikan ragam pilihan tayangan televisi ditengah ruang-ruang keluarga Indonesia.

Soeharto selalu tampil dengan sangat bangga dan percaya diri setiap kali menyebut Pembangunan, GBHN (Garis Besar Haluan Negara), dan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Tapi kesemerawutan pada industri pertelevisian hari ini sesungguhnya menjadi salah satu bukti bahwa semua itu hanyalah retorika semata. Sesuatu yang ternyata kosong dan tak pernah direncanakan dengan baik. GBHN maupun Repelita semestinya sebuah cetak biru yang terpadu dan menyeluruh hingga mampu menjadi acuan strategis bangsa ini untuk menghadapi dan mengantisipasi tuntutan yang senantiasa berkembang di kemudian hari.

Dalam skala yang lebih besar, kegagalan pemerintah Orde Baru dalam merencanakan dan mengelola pembangunan negeri ini pada akhirnya mengorbankan diri mereka sendiri. Hal itu terlihat dari proses suksesi kepemimpinan yang berlangsung di akhir kekuasaan Soeharto. Ia bukan menyerahkan tongkat estafet - lengser ke prabon mandeg pandito - seperti yang diidamkannya, tapi dipaksa turun oleh kemarahan rakyat yang memuncak ketika krisis demi krisis hadir silih berganti. Ia dihadapkan pada keadaan yang memaksanya menyerahkan kekuasaan kepada B.J. Habibie, sang wakil presiden yang tentu tak pernah disiapkannya untuk itu.

Strategi dan perencanaan yang lemah dalam kepemimpinan Soeharto semakin terkuak ketika kemudian masyarakat memaklumi presiden yang berkuasa 32 tahun itu ternyata menyimpan dendam dan sakit hati yang mendalam hingga akhir hayatnya kepada B.J. Habibie yang selama ini justru  demikian dipercaya dan memujanya. Mengenai hal itu diwartakan berbagai media massa setelah Soeharto turun, sakit, hingga meninggal dunia di awal tahun 2008 ini. Salah satu seperti yang dapat terbaca jelas pada kutipan wawancara majalah Tempo dengan Laksamana TNI (purn) Sudomo berikut (lihat catatan #1):

“... Ada tiga orang yang beliau wanti-wanti emoh ketemu: Harmoko, Habibie, dan Ginandjar ... Sebelumnya pak Harto sering berpesan, kalau harus datang melayat atau acara pengantin, ‘Saya mau datang, hanya satu syarat, jangan sampai ada tiga nama itu’”

Fenomena di atas menunjukkan kebiasaan Soeharto menjalankan kekuasaan secara otoriter dan reaktif, wawasan yang terbatas terhadap apa yang akan berkembang di masa depan, dan kurang berhitung secara cermat dan obyektif. Semua yang mengemuka setelah sang Jenderal Besar tak lagi berkuasa pada akhirnya hanya mengkonfirmasi berbagai gambaran dan analisa miring yang mengatakan ia sebagai sosok yang tidak berkenan dibantah dan mentabukan perdebatan dan perbedaan pendapat (lihat catatan #2), atau sebagai penguasa yang senantiasa merasa terancam dan tidak berkenan jika ada yang lebih menonjol dari dirinya, atau sebagai tokoh yang hanya percaya dan mengandalkan keluarga dan lingkaran terdekatnya (lihat catatan #3)

Kebijakan dan cara mengelola TVRI yang telah digambarkan sebelumnya sangat dapat dimaklumi - jika dan hanya jika - pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mampu mempertunjukkan langkah-langkah strategis yang dilakukan ketika pertama kali mengizinkan stasiun televisi swasta hadir pada akhir dekade 1980-an lalu.

Sayangnya tidak demikian. Baik sebelum maupun sesudah RCTI beroperasi, TVRI masih tetap melakukan tata-cara dan pengelolaan penyiaran seperti biasanya. Mereka tidak melakukan upaya cerdas apapun terhadap rangkaian acara dan kemasan materi tayangan yang disajikan. Mereka seakan mengacuhkan tantangan sekaligus ancaman pihak swasta yang terang-jelas telah berdiri di depan matanya.

Pengalaman Itu ...

Penayangan iklan komersial sesungguhnya telah dilakukan TVRI pada era tahun 1970-an, jauh sebelum lembaga penyiaran televisi swasta pertama mengudara. Format penyajian iklan pada masa awalnya adalah seperti yang kita saksikan pada tayangan stasiun-stasiun televisi swasta sekarang. Sejumlah segmen komersial pendek (commercial break) diselipkan di tengah tayangan. Tapi ketika itu teknologi informasi untuk mendukung lalu-lintas dan administrasi data iklan masih sangat terbatas. Teknologi komputer belum jamak digunakan pada sistem pengelolaan siaran televisi.

Segala sesuatu masih manual. Kebijakan operasional dan sistem tata-kelola penayangan iklan sangat sederhana sehingga pengawasan dan pengendalian sulit dilakukan secara cermat. Semua itu tentunya menjadi lahan yang subur bagi berbagai bentuk kolusi dan korupsi diantara oknum-oknum yang berkuasa. Jabatan Kepala Bidang Tata Usaha pada struktur organisasi lembaga penyiaran itu merupakan salah satu ‘posisi basah dan strategis’. Basah karena bergelimang rupiah, dan strategis karena menjadi salah satu sapi perah yang subur bagi pejabat-pejabat yang berwenang.

Tersedianya ruang penayangan iklan di televisi tentu merupakan peluang yang dinanti banyak pengusaha. Kemampuannya menjangkau pemirsa yang juga konsumen potensial produk-produk yang mampu beriklan, jauh lebih efektif dan efisien dibanding media tradisional seperti koran, majalah, radio, dan papan reklame (billboard). Popularitas maupun penjualan produk-produk yang kala itu memanfaatkan iklan di TVRI segera terdongkrak. Beberapa contoh yang sempat populer misalnya Mandom (after shave) yang dibintangi Charles Bronson, Tonikum Bayer (suplement drink) yang justru bukan dibintangi sang legenda Rudy Hartono tapi salah seorang atlit bulu tangkis dari Eropa, dan obat batuk cair Vicks Formula 44 yang diproduksi dengan menggunakan setting dan talent Jepang.

Tidak seperti sekarang, proses kreatif dan produksi iklan-iklan televisi masa itu umumnya masih dilakukan di negara asal produk bersangkutan. Produk-produk yang ditawarkan juga masih diimpor. Masyarakat Indonesia hanya menjadi konsumen dan hampir tidak terlibat dalam kegiatan produksinya. Meski demikian, ada juga segelintir produk lokal yang berinisiatif untuk memanfaatkan peluang beriklan di TVRI, misalnya semen Tiga Roda yang diproduksi di Cibinong, Jawa Barat.

Seperti yang dialami kemudian oleh RCTI ketika berhasil mengantongi izin penyiaran teresterial secara terbuka bagi pemirsanya, jumlah dan kualitas permintaan iklan di TVRI ketika itu juga segera melonjak. Waktu yang disediakan untuk menayangkan iklan semakin panjang dan tentu sering menjengkelkan pemirsa yang sedang asyik menyaksikan sebuah tayangan. Sebagian diantara mereka tentunya adalah para pejabat yang berkuasa.

Di masa itu, belum ada produsen pesawat televisi yang merelokasi industrinya ke Indonesia. Kita masih harus mengimpornya dari manca negara. Harganya tentu relatif mahal sehingga pesawat televisi termasuk dalam kategori barang mewah. Kehadiran kotak ajaib berlayar kaca tersebut di tengah ruang keluarga segera menjadi salah satu simbol kemewahan dan status sosial pemiliknya.

Atas nama pemerataan, dan juga untuk mensukseskan upaya diseminasi informasi dan propaganda yang disampaikan melalui tayangan-tayangan TVRI maka pemerintah mulai menyelenggarakan proyek pengadaan pesawat televisi yang ditempatkan di balai-balai desa dan kantor-kantor kelurahan. Bersamaan dengan itu produsen pesawat televisipun mulai melirik peluang pasar yang luar biasa mengingat besarnya jumlah penduduk negeri ini.

Maka merekapun mulai merelokasi sebagian proses produksinya ke pabrik-pabrik yang dibangun di Indonesia. Selain pasar yang luas, merekapun semakin tertarik karena berbagai insentif yang meringankan ongkos produksi, seperti rendahnya upah tenaga kerja, kebijakan tarif impor yang ringan untuk komponen pendukung, subsidi energi listrik, dan sebagainya. 

Jumlah pesawat televisi yang beredar di tengah masyarakat segera meningkat. Menyaksikan tayangan televisi di kantor kelurahan dan balai desa menjadi kebiasaan baru. Pengunjung surau dan masjid yang sebelumnya ramai melaksanakan sholat berjamaah atau mengaji, perlahan-lahan mulai berkurang. Saat bercengkrama di tengah keluarga usai makan malam, tiba-tiba direnggut hipnotis layar kaca.

Lalu kehadiran siaran TVRI bukan hanya mempengaruhi pola aktivitas sehari-hari masyarakat. Tayangan iklan yang terselip ditengah-tengah program acara juga merangsang berkembangnya hasrat dan prilaku konsumsi pemirsa yang sebagian besar sedang mengalami kejutan budaya (culture shocks).

Tayangan iklan yang hadir semakin sering dan berkepanjangan, perubahan prilaku konsumtif yang berkembang di tengah masyarakat, dan kejengkelan para penguasa negara akibat iklan kerap nyelonong ketika mereka sedang asyik menyaksikan tayangan favorit, menyebabkan TVRI banyak menuai kritik dan hujatan. Akibatnya, tata-cara penyajian tayangan komersial di layar stasiun televisi pemerintah itupun berganti. Materi iklan tidak lagi terselip pada segmen-segmen pendek di tengah program, tapi ditempatkan layaknya sebuah tayangan khusus dengan judul “Mana Suka Siaran Niaga”.

Pendekatan itu konon juga didasari pertimbangan agar masyarakat umum yang masih banyak berpendidikan rendah dan berpola pikir sederhana, tidak terkecoh propaganda dan promosi yang disampaikan melalui klip-klip iklan yang justru memang sengaja dikemas memikat. Untuk mengantisipasi dampak negatif  konsumerisme, TVRI bahkan menyelipkan sejumlah pesan (iklan layanan masyarakat) untuk mengingatkan pemirsanya.

Ditengah-tengah segmen iklan tersebut kerap tampil slide yang bertuliskan “belanjalah sesuai dengan kebutuhan” atau “teliti dahulu sebelum membeli”. Kurang-lebih sama fungsinya dengan tulisan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin” yng wajib dicantumkan pada tiap kemasan dan bungkus rokok yang beredar bebas di pasar hari ini.

Tapi prilaku konsumtif masyarakat luas sudah mulai menggejala dan berdampak terhadap perekonomian Nasional. Kebutuhan impor yang menopang konsumsi tersebut terus meningkat sementara produksi dan nilai ekspor yang dihasilkan belum mampu mengimbanginya. Kegiatan usaha dan perdagangan juga belum berkembang, dan hanya dikuasai segelintir pengusaha. Pada era tahun 1970-an dan 1980-an, peran sektor migas terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) sekitar 60 persen.

Ketika harga minyak dunia jatuh (dari sekitar US$ 34/barel menjadi dibawah US$ 10/barel) maka dampak terhadap stabilitas ekonomi makro dan sosial mulai mengancam (lihat Catatan #4). Cadangan devisa terus merosot hingga pemerintah perlu mengambil langkah devaluasi rupiah terhadap dolar Amerika dengan angka yang sangat tinggi, yaitu sebesar 38%  pada tahun 1983 dan 45% pada tahun 1986. Berbagai upaya penghematan dan pengencangan ikat pinggang dilancarkan, dan salah satunya adalah langkah melarang penayangan iklan  pada siaran TVRI. “Mana Suka Siaran Niaga”-pun berhenti mengudara.

 

Catatan :

#1 - lihat majalah Tempo, 30 Maret 2008, Wawancara Sudomo, “Kalau Benar Tentara Harus Berani Datang”, halaman 118-121

#2 - disarikan dari Hamish McDonald, “Suharto’s Indonesia”, The Dominion Press, 1981, yang menjelaskan kuatnya pengaruh budaya tradisi Jawa, mitologi dan supranatural terhadap gaya kepemimpinan Soeharto. Di bawah kekuasaannya, sistem birokrasi ‘rational-legal’ secara bertahap digantikan model ‘patrimonial’ yang tradisional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun