Menakar Peluang Revolusi Pertelevisian Indonesia : Industri Budaya yang Salah Urus (Bagian I, Bab I) - edisi 2008
Pengantar :
Awal tahun 2008 lalu saya berniat tak lagi bekerja aktif di dunia pertelevisian. Dunia yang telah saya geluti sejak tahun 1993. Dunia yang harus saya akui - tentunya bagi saya pribadi - telah membuka cakrawala yang begitu luas untuk memahami banyak hal tentang Indonesia yang sangat saya cintai ini beserta mereka yang sedang mengisinya : hangat tapi rumit, mendebarkan tapi gelisah, asyik tapi menjengkelkan, berlimpah-ruah tapi miskin, bermoral tapi munafik, penuh kasih-sayang tapi khianat. Persis seperti motto permen yang pernah populer di era 1990-an.
Sejak beberapa tahun sebelumnya sejumlah teman menyarankan untuk mendokumentasikan sejumlah pengalaman, ingatan, dan juga pemahaman tentang belakang layar dunia yang gemerlap dan hingar-bingar itu. Tak ada salahnya bukan?
Kemudian saya bertekad menulisnya. Agar faktual juga obyektif - saya tak bisa menyangkal jika menjaga jarak seutuhnya dari dunia itu bukan soal yang mudah karena terlanjur begitu mencintainya - maka sejumlah riset pustaka maupun lapangan perlu dilakukan. Selama beberapa bulan mulai awal tahun 2008 hingga menjelang Ramadan, saya berkeliling ke beberapa kota Indonesia. Khususnya daerah dimana stasiun televisi lokal maupun komunitas mulai tumbuh menjamur. Juga bertemu dengan sejumlah nara sumber yang terkait dengan apa yang ingin saya tuangkan dalam tulisan itu.
Tapi begitulah hidup manusia. Niat dan suratan tak selalu bersesuaian.
Tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi dan diujung sana seorang teman lama meminta untuk bertemu. Ia dari salah satu jaringan media cetak terbesar di republik yang juga sedang mengembangkan stasiun-stasiun televisi lokal di daerah. Meski maksud dan niatan 'pensiun' telah saya sampaikan, ia ngotot agar saya berkenan membantunya.
Pembicaraan kami belum selesai. Saya masih meminta waktu untuk menimbang-nimbangnya. Lalu seorang rekan lain yang memiliki dan memimpin usaha rumah kreatif (advertising agency) yang menangani salah satu produk sepeda motor terbesar di negeri ini menghubungi saya dan meminta untuk menggantikan dirinya.
Kedua tawaran itu tak bisa saya tolak. Saya harus mengurungkan niat untuk tak bersentuhan lagi dengan industri budaya itu. Begitu pula tekad menyelesaikan tulisan tentang pengalaman, ingatan, dan juga pemahaman yang saya miliki.
***
Sejak berniat, saya telah memulai sebagian dari bagian pertama (pendahuluan) yang ingin saya tulis. Hasil pengamatan dan perjalanan ke sejumlah kota, maupun wawancara dengan sejumlah nara sumber yang ditemui pada kurun waktu 7-8 bulan itu, rencananya akan saya gunakan untuk melengkapi bagian-bagian berikutnya.