Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Infrastruktur Strategis, Kutub Pertumbuhan, dan Desentralisasi Wewenang-Tanggung Jawab Daerah

2 Juli 2016   05:19 Diperbarui: 2 Juli 2016   07:55 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kegelisahan yang dicerminkan pada artikel Project Preparation Key to Lure Private Investment pada harian The Jakarta Post tanggal 30 Juni 2016 kemarin patut disimak. Dikatakan dalam 10 tahun terakhir ini tak sampai 10 proyek kemitraan pemerintah-swasta yang mampu mencapai tahap pra kualifikasi, boro-boro di-tender-kan! Baru 1 proyek yang telah tuntas kesepakatan pembiayaannya setelah terkatung-katung selama 3 tahun, yaitu Proyek Pembangkit Batang senilai USD 2.1 miliar.

Infrastruktur memang persoalan besar yang dihadapi Indonesia yang selama ini begitu 'terpusat' di Jawa. Membangkitkan kutub-kutub pertumbuhan baru di wilayah lain Indonesia memang sangat bergantung dari ketersediaan infrastrukturnya. Itulah alasan utama pencanangan lebih dari 200 proyek strategis - 30 diantaranya masuk daftar prioritas - yang harus segera diselesaikan. Hingga tahun 2019 mendatang, perkiraan biaya yang dibutuhkan sekitar USD 400 miliar. Jika dihitung dengan kurs hari ini nilainya lebih dari Rp 5.200 triliun.

Fakta 'sejarah' berkait kelambanan birokrasi yang dikemukakan - sebagaimana dikutip pada awal tulisan di atas - layak menjadi alasan keraguan pada kemampuan merealisasikan proyek-proyek strategis tersebut. Meskipun sangat dibutuhkan tapi terpaksa tetap dipandang sebagai hal yang sangat ambisius. 

Artikel yang ditulis Bernardus Djonoputro tersebut menekankan sekali lagi pentingnya rencana gamblang pemerintah agar partisipasi swasta betul-betul terwujud. Sebab - untuk memgorkestrasi bermacam sumber daya dan kekayaan miliknya pada kerjasama yang akan dilakukan, selain mendemonstrasikan kemampuan dan pengelaman global dalam inovasi pendaya gunaan asset yang kelak dikembangkan - pihak swasta harus memastikan imbalan keuntungan finansial dan manfaat ekonomi yang diperolehnya. 

Selain perencanaan yang jelas, tentu mereka juga menuntut implementasi berbagai proses tata laksana yang jamak berlaku secara internasional, termasuk tata cara penyelesaian jika terjadi perselisihan, serta kejelasan sistem kelembagaan untuk mengkoordinasikan proyek yang dikerjakan, serta dasar-dasar hukum dan segenap aturan yang memayungi.

Managing Partner HD Asia Advisory itu kemudian menyinggung sejumlah kesungguhan yg perlu dilakukan pemerintah. Mulai upaya mendorong kemudahan sindikasi perbankan yg akan mendukung sampai masalah legislasi di tingkat Nasional maupun Daerah yang mendorong percepatan realisasi kemitraan pemerintah dan swasta pada proyek2 strategis itu.

***

Semua yang disampaikan memang layak diperhatikan sungguh-sungguh. Tapi saya melihat ada persoalan jauh lebih pelik yang harus segera dipecahkan juga. 

Cita-cita pemerintahan Jokowi yang ingin menggeser pusat pertumbuhan tidak terkonsentrasi di Jawa - tapi tersebar di berbagai wilayah Nusantara - adalah memang semestinya. Harus diakui jika selama ini kesungguhan mengembangkan wilayah luar Jawa tak memadai. Infrastruktur yang dibangun dapat dikatakan terbatas pada upaya memudahkan eksploitiasi kekayaan sumber daya alam yang tersebar. Belum menjangkau pendaya-gunaan nilai tambah yang semestinya dapat menjadi motor pertumbuhan di daerah-daerah dimana sumber daya alam itu berada. Manfaat dan keuntungan terbesar eksploitasi yang terjadi memang hanya dinikmati 'kemitraan Pemerintah dan Swasta' yang berada di pusat kekuasaan, Jakarta. 

Sejak merdeka hingga hari ini, hampir seluruh wewenang dan kekuasaan yang menentukan ada di tangan Jakarta. Daerah tempat sumber daya alam itu berada hanya bersifat melengkapi. Bukan hanya terkait dengan administrasi perizinannya tapi juga dalam menetapkan mitra investasi utama. 

Kita tahu, seluruh lembaga perbankan dan pembiayaan non-bank utama bermarkas di Jakarta karena proses pengambilan keputusan memang berada di sana. Sebagaimana juga perusahaan-perusahaan raksasa yang menjadi mitra investasi eksploitasi sumber daya alam daerah yang menjadi nasabah utama mereka. Kantor-kantor cabang lembaga perbankan dan non-bank tersebut lebih berfungsi sebagai kasir dan pelayanan konsumen semata. Tentunya selain pembiayaan aktivitas 'pendukung' dan 'aktivitas konsumtif' yang menjadi jatah daerah. Itupun tak lepas dari 'rekomendasi dan jaminan' pemain utama di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun