Seandainya, sila pertama Pancasila bukan 'Ketuhanan yang Maha Esa', tapi 'Bhinneka Tunggal Ika', apakah kita tetap gaduh mempersoalkan penistaan agama seperti sekarang ini?
Seandainya demikian, mungkinkah kemajemukan sungguh-sungguh merupakan sebuah keniscayaan bagi bangsa kita?
Sebab, sangat mungkin Ahok tak pernah terpeleset atau keseleo lidah menyebut kata-kata 'surat Al Maidah ayat 51' ketika berpidato di Kepulauan Seribu kemarin.
Mengapa?
Karena amat-sangat mungkin tak pernah ada pula yang mempropagandakan ajaran yang menafsirkan ayat Al Quran itu sebagai larangan memilih pemimpin yang Non Muslim bagi kalangan Muslim.
Mengapa?
Karena menyebar-luaskan pemahaman demikian --- menafsirkan ajaran yang mengedepankan exclusivity kelompok --- sama saja dengan menafikan kemajemukan itu sendiri. Tentulah sebagai sesuatu yang terlarang karena mengganggu keharmonisan masyarakat yang semestinya saling menghormati tanpa harus mengedepankan superioritas golongan. Jadi, protes keras dan tuntutan penistaan 'pluralisme' pasti sudah muncul, dan dasar-dasar hukum terkait telah lebih dulu membungkamnya sehingga tak mungkin lagi terlintas di benak Ahok ketika berbicara dengan masyarakat Kepulauan Seribu itu.
***
Lalu, mengapa sampai terfikir pengandaian sila pertama itu bukan 'Ketuhanan yang Maha Esa' tapi justru 'Bhinneka Tunggal Ika'?
Sebab, sila 'Ketuhanan yang Maha Esa' akhirnya bermuara pada keharusan setiap warga negara Indonesia berketuhanan. Keharusan artinya wajib. Jika tak terpenuhi berarti salah. Maka akan dihukum karena tak mengindahkan ketentuan.
Tapi keharusan kemudian menyebabkan agama --- ajaran atau kepercayaan yang terkait konsepsi Tuhan --- menemukan ruang 'perdagangannya'. Membuka peluang kepada masing-masing agama atau kepercayaan untuk saling memperebutkan pengaruh. Maksudnya agar terpilih untuk 'dibeli' oleh mereka yang diharuskan memiliki salah satu. Maka agama-agama sangat mungkin masuk di ranah 'pemasaran'. Selain memperkokoh tentang 'konsep produk', juga perlu memperkuat 'layanan pelanggan', 'purna jual', dan seterusnya. Pada akhirnya --- karena agama memang tak hanya satu dan beragam --- maka persaingan tak mungkin terhindari.