Operasi tangkap tangan merupakan salah satu ciri khas KPK mengungkap berbagai kasus tindak pidana korupsi selama ini. Sedemikian seringnya sehingga bukan lagi hal baru dan istimewa. Pihak yang terlibat dan tertangkap basah pun tak main-main. Telah berderet nama pejabat teras yang diciduknya. Bahkan beberapa minggu lalu 'Senator' Sumatera Barat yang juga menjabat Ketua Dewan Perwakilan Daerah tersangkut.
Selasa 11-10-2016 siang kemarin, operasi tangkap tangan kembali terjadi. Tapi bukan oleh petugas KPK. Melainkan polisi.
Budi Karya — Menteri Perhubungan yang baru beberapa waktu lalu menggantikan Ignasius Jonan — mengatakan sejak bulan lalu telah mencium indikasi praktek kotor. Lalu melakukan penelitian dan penyelidikan sehingga berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.
Pertanyaannya adalah, mengapa Menteri Perhubungan harus menggunakan 'tangan' pihak lain (Kepolisian, red)?
Kita maklum sekaligus prihatin, tindakan korupsi-kolusi-nepotisme di jajaran birokrasi Indonesia hampir mendarah-daging dan seperti budaya yang dianggap wajar dan semestinya. Banyak yang tak malu melakukan perbuatan itu. Meski ancaman penangkapan seperti yang diperlihatkan KPK selama ini sudah nyata-nyata menyebar. Sedemikian rupa biadabnya sehingga di tengah masyarakat sering beredar sindiran bahwa di kalangan pelakunya, tertangkap hanyalah nasib sial. Suap-menyuap adalah peruntungan. Dinamakan rezeki yang berkah jika berhasil dan lolos dari jerat hukum. Layaknya bermain judi di kasino. Jika apes maka hal yang dipertaruhkan akan amblas.
Maka tantangan paling berat bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla beserta siapapun yang memimpin institusi/lembaga pemerintahan yang membantunya adalah mentransformasikan prilaku dan kebiasaan buruk jajaran birokrasi kepada budaya kerja yang melayani kepentingan negara dan masyarakat luas. Hal yang menjadi tekad dan ajakan mereka sejak pertama kali resmi diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Budi Karya pun pasti menghadapinya. Budaya warisan Orde Baru yang hampir menjadi keimanan itu memang masih langgeng di kalangan birokrasi yang dipimpinnya. Bentuk dan cara prakteknya memang berevolusi. Menyesuaikan dengan kondisi dan situasi sekarang. Intinya, suap-menyuap, korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap berlangsung.
Budi Karya — sebagaimana para menteri dan pimpinan lembaga negara lain yang diamanahkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk membantu — juga ditugaskan untuk meningkatkan profesionalitas jajarannya, mengembangkan dan menanam budaya kerja melayani kepentingan bangsa, dan tidak melakukan tindakan lancung maupun hal-hal tidak terpuji lain.
Governance atau tata kelola lembaga yang dipimpin agar sejalan dengan amanah tersebut tentu perlu dirancang, dikembangkan, dilaksanakan, diawasi, diperbaharui, dan terus-menerus disempurnakan. Hampir semua birokrasi Indonesia memiliki seluruh komponen organisasi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi itu. Maka, jika penyimpangan yang disengaja masih terjadi — hal-hal yang telah digariskan masih dilanggar atau kepercayaan yang diberikan masih dikhianati — semestinya ada bagian dari organisasi yang bertugas untuk menegur bahkan menghukumnya dengan berbagai sanksi yang disediakan. Mulai dari pencopotan jabatan, turun pangkat, pemecatan, hingga mempidanakannya.
Lalu, mengapa kecurigaan praktek suap-menyuap yang katanya sudah diteliti dan diselidik hingga mengumpulkan bukti yang cukup itu 'perlu' diserahkan pada pihak lain — dalam hal ini Bareskrim Polri — secara dramatis melalui operasi tangkap tangan yang dipertontonkam itu?
Bukankah dengan bukti yang katanya cukup, organisasi kementerian yang dipimpin Budi Karya telah dapat bertindak semestinya? Termasuk melanjutkan proses hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan menyerahkannya kepada aparat yang berwenang?