Sahabat lama yang kakak kelas waktu kuliah dulu, mengirim tulisan seorang mantan mahasiswi yang menjadi korban birokrasi pendidikan. Sebelumnya beredar di group sosial media angkatannya (tulisan itu saya lampirkan pada bagian paling bawah).
Saya terkesima setelah membacanya dengan seksama.
Pertama, penulis agaknya memang layak mendapat predikat 'cum laude' dalam hal ilmu komunikasi yang ditekuni. Sebab, dia begitu runtun dan menyeluruh mengkomunikasikan 'musibah' --- istilah yang mungkin lebih sopan dibanding 'penderitaan' --- yang menimpanya.
Kedua, hal yang dikisahkan sungguh menggelitik nurani. Sebab, menggambarkan kekakuan birokrasi yang begitu pongah. Bukan terhadap tujuan tapi dalam hal administrasi yang sesungguhnya hanya berfungsi sebagai pelengkap atau penunjang. Di dunia ini, tak ada penyelesaian, penemuan, kemajuan, ataupun pemecahan masalah yang diselesaikan semata-mata karena administrasi. Ketertibannya memang penting dan harus dipelihara. Tapi substansi yang ditatanya jauh lebih penting. Itu sebab ilmu administrasi dituntut adaptif dan mampu segera menyesuaikan diri dengan perkembangan, kemajuan, maupun inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang melatar belakangi penyelesaian, penemuan, kemajuan, ataupun pemecahan masalah substansialnya.
Ketiga, kepongahan birokrasi terhadap ketentuan-ketentuan administratif yang kuno dan tidak lagi relevan dengan perkembangan jaman, sesungguhnya bisa jadi penghambat serius bagi segala upaya yang sedang dilakukan terhadap substansi pokok yang menjadi persoalan ataupun tantangan. Contoh sederhana adalah ketika kita menyikapi kemunculan angkutan online.
Alih-alih merumus ulang ketentuan administrasi lama yang sudah tak mampu lagi mengakomodasi perkembangan, pemerintah dan berbagai pihak terkait yang sebelumnya tidur dan terlena hingga tak mengikuti gejolak jaman, sibuk mempertahankannya. Bahkan mencoba dengan cara-cara intimidatif dan setengah ngotot agar ketentuan lama dipatuhi inovasi yang disodor kemajuan teknologi digital itu.
Seperti soal kir, pelat nomor kuning, lembaga yang sah mengajukan izin, kapasitas mesin, dan seterusnya. Tapi kita tahu, semua itu sia-sia. Laju usaha angkutan online yang didukung predator kapitalisme global terus berkembang pesat. Sementara usaha taksi konvensional yang sebelumnya coba membantah dan dilindungi sistem birokrasi kuno, semakin tertatih-tatih. Bahkan sebagian dari mereka akhirnya terpaksa gulung tikar. Kini cengkraman kapital dibalik bisnis angkutan online mulai mengambil alih 'kekuasaan' pasar. Inilah bukti nyata kepongahan birokrasi yang tak mau menyesuaikan, memperbaiki, ataupun memperbaharui tata administrasinya terhadap tuntutan jaman. Hal yang menyebabkan tudingan atas ketidak-hadiran negara semakin vokal.
***
Saya berasumsi seluruh informasi yang diterangkannya dengan baik dan jernih di bawah benar.
Maka Lis Pratiwi --- sarjana Fakultas Ilmu Komunikasi dari universitas negeri favorit yang katanya lulus 'cum laude' tapi tidak memenuhi syarat untuk diterima pada Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana karena keteledoran kampusnya mengurus administrasi akreditasi --- adalah sebuah musibah Nasional yang semestinya tak perlu terjadi dan pantas dihindari dengan mudah.
Betul, universitas negeri ternama yang meluluskan Lis Pratiwi telah teledor mengurus perpanjangan akreditasi program pendidikan yang diikutinya. Dia dinyatakan lulus (11 Agustus 2016) saat masa berlaku akreditasi sebelumnya kadaluwarsa (21 Juli 2011 – 21 Juli 2016) tapi sebelum akreditasi pembaruan diperoleh (24 November 2016 – 24 November 2021).