Jika dianggap pola pengeluaran/konsumsi yang tersedia tersebut (lihat gambar) mewakili masyarakat Jakarta, sesungguhnya kita bisa memperkirakan biaya yang harus disediakan pemerintah untuk menjalankan pembatasan mobilitas penduduk yang dibutuhkan agar bisa menghindari lonjakan kasus dan penyebarannya ke wilayah lain. Sejauh ini, Jakarta sudah mencatatkan 215 kasus.
Dari data pengeluaran rata-rata tersebut, sebetulnya mengkonfirmasi dugaan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memang menggantungkan nafkah sehari-hari untuk menopang hidup mereka.
Pada kelompok terendah (kuintil-1), 66% pengeluarannya dibelanjakan untuk kebutuhan makan. Sementara kuintil-2 yang total pengeluarannya kurang lebih 1,5 kali kuintil-1, membelanjakan 63% untuk makanan. Kuintil-3 sebanyak 59% (total pengeluaran 2 kali kuintil-1). Kuintil-4 sebanyak 55% (total pengeluaran 3 kali kuintil-1).
Hanya kuintil-5 (kelompok pengeluaran tertinggi) yang membelanjakan 39% pengeluaran untuk makanan. Sementara total pengeluarannya hampir 7 kali kuintil-1 atau lebih dari 2 kali kuintil-4 di bawahnya.
Jika sementara waktu masyarakat harus dilarang untuk keluar rumah (kecuali untuk hal tertentu) maka artinya pemerintah perlu melayani penyediaan kebutuhan dasarnya. Paling tidak untuk kuintil-1 hingga kuintil-4. Dengan asumsi penduduk Jakarta 10 juta jiwa, maka anggaran yang dibutuhkan memenuhi kebutuhan tersebut diperkirakan Rp 3,569 trilun per bulan.
Tentunya perlu disiapkan protokol lebih lanjut mengenai pendistribusian dan seterusnya. Hal yang mestinya amat sangat mungkin dilakukan dengan tatanan organisasi pemerintahan yang dimiliki dan kecanggihan teknologi yang dikuasai hari ini.
Rumit?
Pasti tapi mungkin dan layak dipertimbangkan.
Sebab, dengan struktur pengeluaran seperti itu, semestinya pemerintah sangat mudah memahami betapa rentannya kondisi sosial di tengah masyarakat jika karena satu dan lain hal, terpetik sesuatu yang menyebabkan kepanikan massal. Seperti hal yang dialami Italia sebagaimana disebutkan di atas tadi.
Hanya Jakarta?
Tentu tak hanya Jakarta. Sebab, selain Jakarta (215 kasus), penularan setidaknya sudah terjadi di Bali (4 kasus), Banten (37 kasus), DIY (4 kasus), Jawa Barat (41), Jawa Tengah (12), Jawa Timur (15), Kalimantan Barat (2), Kalimantan Timur (10), Kalimantan Tengah (2), dan Kepulauan Riau (4).
Melokalisir persoalan di masing-masing daerah, jauh lebih memungkinkan dibanding menghadapi kemungkinan ledakan masalah di berbagai daerah Indonesia yang luas ini.