Kebebasan mengemukakan pendapat masa kini, juga acap disikapi berlebih oleh kalangan partisan yang mendukung kekuatan politik tertentu. Termasuk pada mereka yang merasa sejalan dengan pemerintah yang berkuasa. Kepicikan dan kemiskinan wawasannya, acap tercermin pada sikap, laku, dan ucapan yang dilontarkan. Mereka kerap merasa tak cukup hanya dengan sekedar meradang, ketika menganggap media jurnslistik berpihak pada kubu lawannya. Tapi juga kerap menghasut dan melontarkan tudingan membabi-buta, soal independensi dan akurasi media tersebut, meskipun tanpa dilatar belakangi fakta yang memadai.
+++
Menjelang pemilihan Presiden tahun 2019 kemarin berlangsung, sebagian kalangan pendukung Joko Widodo tak dapat menerima kenyataan, ketika Litbang Harian Kompas melansir hasil penelitian jajak pendapatnya. Berbeda dengan lembaga-lembaga riset yang lain, saat itu Kompas menyatakan suara yang berpihak kepada Joko Widodo mengalami penurunan, meski masih tetap unggul dibanding Prabowo-Sandi.
Ketika itu, serta merta latar belakang pribadi pemimpin redaksinya, diungkit. Digunakan sebagai pembenaran atas tuduhan mereka yang menyatakan media jurnalistik yang saya anggap "sungguhan" tersebut, berpihak. Beliau kebetulan memang putri salah satu tokoh penting yang berada di lingkungan kekuasaan Suharto dulu. Sementara suaminya, juga tercatat sebagai pengurus teras pada organisasi yang diketuai Prabowo Subianto. Hal yang mereka abaikan saat melontarkan tudingan kejam itu adalah, pemimpin redaksi bersangkutan telah bekerja puluhan tahun di sana, bahkan sejak awal mula beliau berkarir saat Suharto masih berkuasa dulu. Bahwa Kompas adalah media jurnalistik yang telah teruji dalam rentang waktu cukup panjang sehingga layak terpuji dalam proses pemilihan jajaran redaksi dan eksekutifnya, seolah tak dipertimbangkan lagi sama sekali.
Kita teringat politik identitas dan bumi hangus rezim Orde Baru, yang hingga kini masih kerap mengemuka, ketika berhadapan dengan komunisme. Meskipun kemerdekaan berserikat dan menyatakan pendapat sesungguhnya telah ditegakkan paska Reformasi 1998 lalu. Strategi sesat dan pengalaman buruk tersebut, mestinya jangan dipelihara dan tak digunakan lagi.
Voila!
Setelah pemungutan suara telah sungguh-sungguh berlangsung dan proses penghitungan resminya mendekati akhir, sejauh ini, hasil dari sistem penghitungan suara yang dilakukan KPU --- sebagaimana pula berbagai penelitian yang menggunakan metode hitung cepat dan exit poll usai pemilihan pada lebih dari 830 ribu TPS kemarin --- hasil sementaranya menunjukkan bahwa perolehan suara Joko Widodo jauh lebih mirip dengan jajak pendapat Kompas yang menghebohkan tempo hari itu.
Padahal, berbagai lembaga survey lain yang waktu itu juga melakukan hal yang sama, justru terlihat "terlalu keliru" ketika serempak menyatakan keunggulan Joko Widodo.
Lalu, bisakah kita menuntut pertanggung jawaban --- paling tidak secara moral --- terhadap mereka yang secara serampangan telah melontarkan tudingan kejamnya kepada Harian Kompas 2 bulan yang lalu itu?
Begitu sulitkah kita memahami pengrusakan terstruktur, secara sistematis, dan berlangsung masif, pada tingkat kepercayaan publik terhadap pilar keempat demokrasi --- yang dalam jalan sepi kesendiriannya --- justru terus-menerus diguncang modernisasi dan disrupsi kapitalisme itu?