Jadi begini: PPh 25/29 Orang Pribadi (OP) tahun 2016 diproyeksikan naik hingga hampir 6 kali lipat angka 2015. Kemungkinan besar karena "wishful thinking" saat program tax amnesty.
Realita-nya PPh 25/29 OP 2016 malah turun 36 persen dibanding 2015. Tahun 2017 meningkat hingga 44 persen tapi sesungguhnya nilai yang diperoleh (IDR 7,8T) masih lebih kecil dibanding 2015 (IDR 8,3T).
Sebetulnya aneh juga karena APBN 2017 masih mencantumkan nilai cukup besar dalam PPh 25/29 OP tersebut (IDR 20T) walaupun turun sekitar 31% dibanding 2016 (IDR 28,8T) yang sebelumnya melonjak tajam dari tahun 2015 itu.
Akibatnya, realisasi 2016 dan 2017 hanya 18 dan 39 persen dari APBN(P) yang ditetapkan. Tentu ini mencerminkan "perencanaan" yang sangat sembrono.
Menurut hemat saya ada jejak Bambang Brodjonegoro di sana. Tapi sayangnya Sri Mulyani mungkin belum sempat membenahi konsep perencanaannya.
Gambaran tak menggembirakan juga terlihat melalui PPh 21. Kita maklumi pajak tersebut adalah yg dipungut perusahaan terhadap karyawan dan disetorkan ke negara.
Pertumbuhannya terlihat seret. Salah satu disebabkan peningkatan nilai PTKP sekitar 50% dari sebelumnya. Jadi, dari IDR 114,5T (2015), perolehan PPh21 turun jadi IDR 109,2T pada 2016 (APBNP IDR 129,3T) lalu naik sedikit jadi IDR 117,8T pada 2017 (APBNP IDR 148,1T).
Perlu diingat, sejak tahun 2009, pekerja dengan upah minimum, praktis tidak memiliki kewajiban membayar pajak. Sebab penerimaan mereka jika di-setahun-kan di bawah nilai PTKP (pendapatan tidak kena pajak) yang terus meningkat (2008-2009: 450% | 2012-2013: 53% | 2014-2015: 48% | 2015-2016: 50%).
Fenomena perolehan PPh 21 sejak 2015 hingga 2017 ini --- meski terjadi peningkatan pada nilai PTKP --- antara lain mencerminkan tidak terjadi atau seretnya kenaikan pendapatan di antara pekerja kelas menengah. Demikian pula penyerapan lapangan pekerjaannya. Bahkan sebagian mungkin terkena PHK akibat situasi ekonomi yang sesungguhnya morat-marit dan lesu ini.