Rasanya terlalu naif jika masih ada yang ragu soal kebaikan Joko Widodo. Mulai dari kesolehan-nya sebagai umat yang beriman, kejujuran-nya sebagai pejabat yang meski memiliki segudang hak istimewa, kesungguhan-nya dalam menjalankan amanah sebagai Presiden dan Kepala Negara terpilih tahun 2014 lalu, kesantunan-nya sebagai warga negara Indonesia, hingga kedamaian-nya sebagai manusia.
Saya sangat yakin --- seyakin Matahari terbit besok pagi --- tak seorang pun yang bisa menemukan cela beliau dari hal-hal yang disebut tadi. Kecuali mereka yang tergolong munafik. Sebagaimana cirinya, kaum yang demikian adalah orang-orang yang selalu bohong, ingkar janji, dan khianat.
+++
Persoalan Joko Widodo adalah pada nuansa yang dibangun sekaligus dikembangkan lawan-lawan politiknya. Atau mereka yang tersingkir dari segala kemewahan dan keistimewaan yang dinikmati selama ini. Atau kelompok yang memang ingin berontak dan membubarkan Indonesia.
Golongan yang terakhir memang bahaya laten. Mereka adalah sekelompok masyarakat yang ingin mencampur-adukkan keimanan dengan kehidupan di dunia ini. Menegakkan keyakinan agamanya sebagai dasar Negara sehingga yang lain dianggap sebagai penumpang atau warga kelas dua.
Jejak keinginan mereka untuk diistimewakan sudah berkecamuk sejak bangsa ini difasilitasi Jepang --- yang saat itu masih berstatus sebagai penjajah --- mempersiapkan kemerdekaannya. Sejarah berdirinya Republik Indonesia telah mencatat pengaruh luar biasa yang dimiliki kelompok Islam saat Badan Pelaksana Persiapan Kemerdekaan Indonesia menyusun Pancasila.
Konon Presiden Sukarno sampai menitikkan air mata ketika membujuk mereka agar tidak memaksakan ketentuan Syariat Islam sebagai bagian dari Dasar Negara kita (Yudi Latif, Negara Paripurna - Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, 2011).
Catatan: selengkapnya mohon lihat kembali artikel "NKK/BKK, Khilafah, dan PERPPU", tanggal 16 Mei 2017
Paska Gerakan Reformasi 1998 lalu, kita memang hampir terjerumus gara-gara penafsiran Undang-Undang Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar itu, kelompok Islam garis keras semakin leluasa untuk menebar pengaruh sambil membangun basis massa yang mendukungnya mendirikan pemerintahan khilafah.
Untunglah Joko Widodo sigap bertindak dan mengeluarkan Perppu Nomor 2/2017 sebagai penggantinya. Sejak saat itu, kelompok Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sebelumnya gencar menyuarakan pembentukan negara Islam, resmi dilarang dan harus bubar.
+++