Rosan Roeslani yang dikenal luas sebagai mitra bisnis Sandiaga Uno sebelum terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI, adalah Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Kamis, 21 Juni 2018 kemarin, bersama dengan Sekretaris Jenderal DPP REI (Real Estat Indonesia) Totok Lusida, mereka bertemu Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia.
Mereka membahas aturan terkait pembiayaan kredit perumahan yang selama ini diberlakukan, yakni Loan to Value (LTV). Untuk rumah pertama, selama ini ditentukan sebesar 85 persen. Artinya, setiap konsumen yang berminat memiliki rumah tapak melalui fasilitas kredit perbankan harus menyediakan uang muka sebesar 15 persen.
Ketentuan inilah yang menarik perhatian saat kampanye pemilihan Gubernur DKI yang heboh tahun lalu itu. Pasangan Anies-Sandy menjanjikan program kepemilikan rumah dengan uang muka 0 persen. Sementara ketentuan Bank Indonesia soal (LTV) tersebut tak mungkin diabaikan perbankan manapun.
Logikanya, saat itu kebijakan uang muka 0 persen tersebut hanya mungkin dilakukan melalui 2 cara. Pertama, pemerintah DKI menyediakan uang muka agar warga Jakarta yang menginginkan dapat lolos dari ketentuan LTV tersebut.
Jika menggunakan kebijakan demikian maka sejumlah persoalan besar perlu dihadapi. Mulai dari kriteria warga mana yang diperkenankan menerima subsidi uang muka hingga penyediaan anggarannya.
Cara lain adalah pemerintah DKI menyediakan fasilitas pembiayaan in house yang tak terjangkau ketentuan BI tersebut. Artinya, pinjam-meminjam langsung terjadi antara Balai Kota dengan rakyat yang menginginkan.
Jika demikan, dari mana DKI memperoleh sumber anggarannya?
Tentu saja dari APBD. Hal yang semakin sulit di tengah beban pembiayaan investasi dan operasional Pemda DKI yang setiap tahun terus meningkat sementara pertumbuhan pendapatan daerahnya semakin menyempit.
Apalagi sejumlah investasi yang terlanjur sudah dimulai tetap perlu dijaga keberlanjutannya. Misalnya 16 km MRT yang sedang memasuki tahap penyelesaian akhir sekarang ini.
Layanan angkutan massal publik tersebut tentu harus dilanjutkan dengan pengembangan jalur-jalur yang lain. Hal yang kelihatannya semakin tak mudah jika perusahaan daerah yang dibentuk untuk hal tersebut harus menyediakan tambahan modal yang dibutuhkan. Belum lagi soal penyediaan anggaran untuk memberi subsidi terhadap biaya operasionalnya nanti.
Salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi BI mengeluarkan kebijakan LTV adalah untuk menghindari terjadinya peningkatan kredit macet perbankan. Singkat kata, keharusan konsumen menyediakan uang muka diharapkan dapat menjadi salah satu alat verifikasi soal eligibility calon debitur.