Pada tahun 2018 ini, diperkirakan jumlah perjalanan sehari-hari yang menggunakan moda kendaraan roda dua itu, akan menguasai 52-54 persen dari sekitar 68 juta total perjalanan masyarakat Jabodetabek.
Ibu dari segala permasalahan ini adalah pada pengabaian Negara dalam menyediakan layanan transportasi publik yang memadai bagi mobilitas warga untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Kelalaian itu bahkan telah berlangsung sejak hal yang paling mendasar, yakni dalam hal penyelenggaraan fasilitas penunjang yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki.
Negara tak pernah sungguh-sungguh mengembangkan regulasi terkait penyediaan pedestrian. Padahal, berjalan kaki semestinya merupakan moda transportasi paling mendasar, sederhana, dan mampu dilakukan oleh siapapun. Dengan demikian, penyediaan prasarana memadai bagi pejalan kaki, seharusnya merupakan hak paling mendasar setiap warga negara yang ketersediaannya mesti dijamin oleh Negara.
Jadi, sebelum menyediakan dan menyelenggarakan prasarana bagi moda transpotasi yang lain --- baik yang bermotor maupun tidak --- kebutuhan yang menunjang kemudahan dan kenyamanan pejalan kaki harus menjadi prioritas pertama dan utama.
Kemudahan dan kenyamanan berjalan kaki, sebenarnya merupakan sarat mutlak untuk menunjang pelayanan angkutan umum. Apalagi yang menggunakan lintasan pelayanan dan perhentian tertentu untuk menaikkan maupun nenurunkan penumpangnya.
Faktanya, Statistik Transportasi DKI Jakarta tahun 2017 melaporkan trotoar yang tersedia di Jakarta hanya 8,6 persen dari keseluruhan panjang jalan raya yang ada. Itupun tidak semua dalam kondisi baik dan layak.
Jadi, bagi warga Jakarta maupun kota dan desa lainnya di Indonesia, menggunakan sepeda motor adalah sebuah keniscayaan. Jika kita tak ingin menyebutnya sebagai suatu keterpaksaan. Sebab, akibat "Negara tak hadir" maka (sebagian) rakyat terpaksa berkorban untuk menyelenggarakan angkutan kendaraan beroda dua itu.
+++
Kita kembali pada angkutan umum ojek yang hingga hari ini masih berstatus informal tadi.