36 tahun lalu (1982), Steve Job, sang genius yang mendirikan sekaligus menghantarkan Apple sebagai tonggak penting Revolusi Budaya Digital hari ini, berpesan, "kalau ingin 'tersambung' dengan gagasan-gagasan yang inovatif, Anda tak harus memiliki sekeranjang pengalaman yang sama dengan orang lain!"
Pada umumnya, naluri pertama setiap manusia memang cenderung menolak segala sesuatu yang asing dan baru. Sebab, melakoni atau menerimanya, berarti harus berhadapan dengan aneka ketidak-pastian. Tatanan maupun cara-cara yang telah ada dan sudah biasa digunakan (konvensional), dianggap lebih aman, nyaman, dan terkendalikan (manageable).
Maka tantangan utama setiap gagasan yang asli (original), adalah meyakinkan pihak-pihak atau kalangan lain yang dukungannya dibutuhkan. Meski tak selalu, pengetahuan, pengalaman, dan kesuksesan yang telah ada sebelumnya, acap memerangkap mereka pada zona nyaman. Lalu menyuburkan prasangka negatif terhadap gagasan-gagasan baru yang kreatif maupun inovatif.
###
Fenomena di atas jamak terjadi di belahan dunia mana pun. Tapi mungkin kondisi yang terburuk terjadi di Indonesia. Sebab, kita tak terbiasa menghargai 'upaya' tapi justru hobi 'mencela'. Akibatnya, kita pun tak mampu menghormati 'proses' tapi gandrung pada hal-hal yang 'instan'. Maka kita tak sanggup memaklumi 'kegagalan' tapi hanya mengenal 'kemenangan' meski harus diperoleh dengan cara-cara licik, culas, dan biadab.
Agaknya memang ada yang keliru dalam 'proses pendidikan' yang kita lakoni untuk memahami makna 'rezeki'. Seolah-olah Tuhan memang bersifat pilih kasih. Bukan karena kerja keras, ketekunan, dan pengorbanan . Tapi lebih pada ketakwaan semata.
My 2 cents,
Jilal Mardhani, 13-2-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H