Mantan KidsZamanOld tak menyadari, kalau hari ini, biaya KidsZamanNow makan di kaki lima, kurang-lebih setara dengan restoran cepat saji. Padahal sekitar 30 tahun lalu, harga seporsi ayam dan nasi panas di Kentucky Fried Chicken masih bisa digunakan untuk membayar 3-4 mangkok baso atau soto pinggir jalan.
Hari ini --- kedua bisnis yang menekuni bidang yang sama tapi beda status formalitas itu --- harga jual per unit produk yang didagangkannya telah bersaing ketat.
Lalu apa sih sesungguhnya beda antara formal dan informal?
Perbedaan yang paling sederhana, usaha formal adalah yang resmi terdaftar; mengikuti aturan yang ditetapkan maupun kaidah yang berlaku terkait aktivitasnya; serta membayar pajak, retribusi, dan biaya-biaya lain yang ditetapkan Negara.
Pada sektor informal biasanya justru berkebalikan. Mereka tidak terdaftar resmi sehingga otomatis tak terikat aturan yang ditetapkan. Paling mereka hanya menghormati kaidah yang berlaku umum dan telah menjadi norma sosial kemasyarakatan. Tapi mereka tidak membayar pajak walau kadang masih ditarik retibusi yang bersifat sangat umum. Misalnya terhadap "sewa", "keamanan", dan "kebersihan" tempat yang mereka gunakan berdagang, meskipun tak resmi.
Tapi sektor informal inilah yang sebetulnya "menyelamatkan" Indonesia saat krisis ekonomi 1998 lalu menerpa. Ketika itu diperkirakan 2/3 perputaran uang kita sesungguhnya berada pada usaha-usaha yang termasuk dalam kategori sektor ini. Tentu saja tak hanya usaha warung kaki lima. Tapi juga mencakup yang lain, mulai dari kontraktor bangunan, distribusi barang, jasa keamanan, layanan angkutan, hingga calo-calo tanah, tenaga kerja, proyek pemerintah, kasus hukum, dan jabatan. Sebagaimana warung makanan di kaki lima, berbagai usaha sektor informal lainnya itu bukan hanya tak tercatat; tapi juga tak membayar pajak.
Sebagian diantara mereka memang termasuk golongan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Walaupun informal, sebagian yang lain --- mengingat perputaran usaha setahunnya melampaui nilai Rp 4,8 miliar --- tentu tetap termasuk kategori Usaha Besar.
Negara sangat menyadari potensi sektor-sektor informal tersebut.
Itulah sebab dilakukan upaya terus-menerus untuk mem-"formal"-kannya. Diantaranya melalui berbagai kebijakan yang terkait UMKM. Mulai dari fasilitas pembiayaan usaha seperti KUR (kredit usaha rakyat) yang tahun ini dianggarkan Rp 120 triliun ---bunganya pun telah diturunkan dari 9% menjadi 7 persen --- hingga keringanan pajak usahanya. Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 merupakan petunjuk teknis dari Peraturan Pemerintah 46/2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Populer disebut sebagai PPh Final atas UMKM.
Pemerintah --- sebagaimana diberitakan Kontan beberapa waktu lalu --- sedang menggodok kebijakan yang menurunkan tarif PPh final UMKM tersebut dari 1 persen menjadi 0,25 persen.
Hal ini menyiratkan pesan yang semestinya sangat tegas.
Pertama, potensi pendapatan Negara melalui pajak disana, sesungguhnya memang sangat besar. Jika saat krisis 1998 disebutkan sebagai 2/3 dari peredaran ekonomi Nasional maka saat ini porsi tersebut diduga kuat masih cukup significant. Sebenarnya hal itulah yang menjelaskan, mengapa ekonomi kita hari ini masih bergerak, meski pun sejumlah kelesuan sangat dirasakan oleh para pengusaha formal.
Kedua, Negara masih belum menemukan cara jitu untuk sungguh-sungguh memberdayakan potensi tersebut sehingga "perkiraan" memberikan "potongan resmi" sebesar 75% dari tarif yang berlaku sekarang dianggap masih "lebih menguntungkan".
Ketiga, sektor-sektor informal yang masuk kategori UMKM itu sepertinya "belum sungguh-sungguh merasakan" peran Negara sehingga masih banyak yang "tidak tergugah" untuk melaporkan penghasilan dan menunaikan kewajiban pajak mereka. Bagaimanapun, sistem perpajakan kita hari ini memang menggunakan "kesuka-relaan" wajib pajak untuk menghitung sendiri jumlah yang harus dibayarkannya (self assessment).