Mas Budi Karya yg baik,
Kemarin saya kembali naik Uber. Seperti biasa, sepanjang perjalanan ngobrol dengan Mas Supir.
Beberapa kali kendaraan Ertiga yang kami tumpangi melintas jalan berlubang. Terdengar suara yang cukup keras. Katanya shock breaker kendaraannya mati. Saya bertanya apakah sudah diperiksa ke bengkel karena mungkin tie rod-nya. Sebab kendaraan pribadi saya pernah demikian juga setelah roda mengalami hantaman keras. Supir itu akhirnya bilang bahwa rekomendasi bengkel yang telah memeriksa kendaraannya beberapa hari lalu memang bilang demikian. Ada yang harus diganti dengan estimasi biaya sekitar Rp 6 juta.
+++
Kemudian dia menceritakan bahwa pemilik mobil yang dikendarainya sudah mengetahui. Tapi memintanya bersabar dan tetap gunakan kendaraan dengan hati-hati dulu.
Singkat cerita, supir itu mengabarkan kalau pemilik kendaraannya yang masih bujangan akan segera melaksanakan pernikahan. Tentu perlu biaya yang tak sedikit. Saat ini, kendaraannya yang dikerjasamakan untuk taksi online tinggal 2 unit. Sebelumnya ada 4 unit. Sisa yang 2 unit lagi sudah ditarik oleh perusahaan leasing karena tak sanggup membayar cicilan.
+++
Kisah ini saya sampaikan untuk memberi gambaran kepada Anda betapa dinamisnya "ragam drama" yang terjadi di tengah masyarakat kita.
Lazimnya manusia, semua berupaya mencari peluang ekonomi untuk membiayai perjalanan hidupnya. Bagi sebagian kalangan, peluang yang ditawarkan oleh kehadiran angkutan online adalah salah satu jalan keluar untuk menghadapi situasi ekonomi yang sedang kurang menggembirakan. Dengan segala sisa kemampuan yang dimiliki, mereka berupaya menyiasati keadaan dan memanfaatkannya. Menempuh risiko yang dalam perkiraan sederhana mereka masih terkelola dan mampu diatasi.
Jangan kita lupakan pula jika peluang bisnis yg mereka lihat pada fenomena angkutan online itu bukan sesuatu yang dipahami sebagai hal yang haram atau jahat. Seperti misalnya narkotika dan obat-obatan terlarang, prostitusi terselubung, menadah barang curian, dan seterusnya.
+++