Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka untuk Indonesia

12 Oktober 2017   09:19 Diperbarui: 12 Oktober 2017   09:30 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung 'Gelora II' karya Nyoman Nuarta (1994), tembaga dan kuningan, lebar 260 cm tinggi 135 cm (dokumentasi pribadi)

Revolusi Budaya Digital tak hanya milik promotor yang memahami dan menguasai perkembangan maupun pendaya-gunaan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Tapi juga mereka yang menjadi sasaran pengaruh maupun terdampak perkembangan itu. Termasuk negara dan sistem pemerintahan yang berkuasa dan diamanahkan untuk menaungi keberadaan peradaban tersebut.

Digitalisasi memang memicu 'disrupsi'.  

Sebutan yang akhir-akhir ini populer untuk menggambarkan sesuatu yang tercerabut dari akarnya. Sebab, kecanggihan daya-guna yang dimungkinkan teknologi digital untuk mengembangkan aplikasi komputer, kecerdasan buatan, dan konektifitas canggih yang memungkinkan sesuatu dengan yang lain terhubung dengan sangat mudah dan murah -- sehingga basis data raksasa menjadi issue sekaligus asset penting dan paling mutakhir -- menyebabkan beragam tatanan konvensional berpeluang menjadi usang, konyol, bahkan mungkin terkesan aneh bagi sebagian kalangan.

Sejarah telah mencatat sejumlah pengalaman ketika peradaban dan tata kehidupan manusia selalu digiring untuk beradaptasi dengan setiap perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh capaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti perubahan-perubahan yang terjadi setelah manusia bertemu dengan gagasan bercocok-tanam, roda, mesin uap, listrik, hingga perjalanan ke antariksa. Hal-hal yang menawarkan ragam imajinasi maupun kemudahan bagi umat manusia untuk menyiasati kendala-kendala yang harus dihadapi dalam melakukan aktivitas sehari-harinya.

+++

Negara dan lembaga pemerintahan yang berkuasa adalah dari, oleh, dan untuk seluruh anggota masyarakat yang terlibat aktif maupun pasif di sana. Suatu keberadaan yang disepakati untuk menjamin berlangsungnya tatatanan yang adil dan berpihak kepada semua. Bukan hanya terhadap segolongan, betapapun jasa dan pengorbanan yang telah mereka lakukan. Tapi juga bagi mereka yang menantang kemapanan yang ada, menggali dan mengupayakan peluang, dan menawarkan gagasan-gagasan alternatif.

Revolusi Budaya Digital yang sedang berlangsung sekarang sesungguhnya sangat berpeluang membuka kotak pandora yang menyimpan (atau menyembunyikan) berbagai keterbatasan dibalik ragam legalisasi maupun konvensi yang kita miliki sekarang. Sebab ia telah mewujudkan begitu banyak kemampuan pada hal-hal yang sebelumnya dianggap atau dipandang tak mungkin. Termasuk memangkas resiko ketidak-pastian maupun pengorbanan yang semula dipersyaratkan.

Bayangkanlah ketika manusia masih berkirim kabar melalui surat yang dititipkan pada burung merpati yang terlatih terbang dari satu tempat ke tempat yang lain. Beragam resiko dan kendala pada cara tersebut kemudian tereduksi ketika layanan jasa pos berkembang. Begitu pula ketika teknologi telekomunikasi menemukan gagasan faksimili. Lalu surat virtual atau email yang tak lagi membutuhkan medium kertas. Bahkan panggilan video sehingga komunikasi satu dengan yang lain bisa saling melihat lawan bicara dengan cara yang mudah dan biaya sangat murah, kini telah menjadi hal lumrah. 

Keberadaan negara maupun pemerintah -- yang sejatinya dipandang strategis bahkan mutlak -- semakin terpinggirkan oleh Kapitalisme yang menguasai perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Lihatlah nasib jasa pelayanan pos yang sebelumnya begitu vital. Atau jaringan telekomunikasi saat masih mengandalkan teknologi kabel tembaga. Peran dan tangan sektor privat yang sepenuhnya bersandar pada nilai-nilai komersial telah hadir di sana bersama dengan modernisasi produk maupun layanan dengan tuntutan pengorbanan (biaya) yang semakin kompetitif dan memberdayakan. Bahkan kini, dunia sedang bergelinjang menantikan kelahiran mata uang digital (cryptocurrency, bitcoin) untuk menjembatani berbagai transaksinya tanpa menyertakan peran negara. 

Maka bukan hal yang bijak jika kemajuan sekaligus tantangan perkembangan zaman itu disikapi dengan cara-cara defensif, otoriter, apalagi dengan mengatas-namakan tirani mayoritas. Negara dan pemerintahan yang berkuasa justru dituntut bijak menyikapi semua itu agar kehidupan demokrasi kita tetap berlangsung dan terpelihara bagi masa depan generasi penerus. Mengedepankan cara maupun sikap represif untuk menghambat maupun menyangkalnya, justru membuka ruang empati yang lebih lebar bagi 'para penantang' yang sedang menggalang Revolusi Budaya Digital tersebut. Mereka justru akan menuai dukungan lebih luas. Sebab, iman mereka adalah pasar dan keuntungan ekonomi. Kepercayaan dan kepuasan siapapun yang terlibat -- baik mitra, pelanggan, maupun potensi yang belum direngkuh -- adalah segalanya. Demi hal itu, mereka sigap dan sungguh-sungguh menyempurnakan 'kitab suci'-nya yang berisi acuan soal standar operasional, layanan minimal, manfaat yang diperoleh, jaminan tentang hal-hal yang tak diperbolehkan, dan seterusnya. 

Dengan kata lain, ketika Kapitalisme dan Revolusi Budaya Digital tak kenal lelah memberdayakan (enabling) beragam 'hal' maupun 'mereka' yang selama ini tak berdaya -- sementara Negara bersama perangkat kekuasaannya hanya heboh merayakan mitos-mitos 'pelayanan' yang semakin jauh panggang dari api -- maka 'pemberontakan kemerdekaan' sang liyan akan semakin nyata dan realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun