Pria kelahiran Manggar, Belitung Timur itu, mungkin Warga Negara Indonesia yang paling banyak dimusuhi saudara sebangsanya sendiri. Padahal --- setelah fenomena (almarhum) Ali Sadikin setengah abad yang lalu --- Jakarta belum pernah merasakan lagi kehadiran Gubernur yang manfaatnya dirasakan luas karena lebih berpihak pada kepentingan mereka. Bahkan Ahok mungkin lebih istimewa karena dia sama sekali tak berkompromi dengan segala bentuk maupun ukuran korupsi-kolusi-nepotisme. Sedikitpun tak dibiarkannya celah terbuka sehingga anak buahnya leluasa memperkaya diri menggunakan jabatan dan kekuasaan. Walau ada saja yang bandel dan tak tahu diri.
Kodratnya sebagai warga turunan Tionghoa --- dan terutama karena statusnya yang non Muslim ---digunakan sebagai alasan utama untuk menjatuhkan segala prestasi tulus ayah dari tiga anak tersebut.
Hal yang sesungguhnya berkebalikan 180 derajat. Sebab mestinya mereka bersyukur, berharap, dan mendorong lebih banyak Ahok --- yang telah membuktikan ke-indonesia-annya yang sejati --- lahir, hadir, dan berkiprah di negeri yang selamanya terpuruk karena korupsi-kolusi-nepotisme ini.
Siapa saja mereka yang menjadi musuh-musuhnya hingga pria yang memiliki nama Tionghoa Zhōng Wànxué itu perlu disingkirkan beramai-ramai?
--- Pertama adalah mereka yang syahwat korupsi-kolusi-nepotismenya terganggu.
Sebelum ada Ahok, mereka leluasa menelikung anggaran. Mulai dari proses penetapan jumlah maupun jenis peruntukannya, sampai tahap realisasi bahkan pengawasan dan pemeriksaannya. Sebab anggaran artinya proyek. Proyek berarti keuntungan. Siapa yang ingin beruntung menguasai proyek harus bersedia masuk dalam perangkap 'berbagi rezeki'. Maka korupsi sudah dimulai sejak tahap yang paling awal, yaitu ketika memberikan persetujuan terhadap apa yang perlu dibiayai melalui anggaran belanja dan berapa besaran yang akan dialokasikan.
Fokus pembahasan pembiayaan kegiatan pemerintah sesungguhnya sudah lama bergeser. Bukan lagi soal sejauh mana penyelesaian masalah atau capaian kemajuan akan diraih. Tapi tentang berapa 'untung' yang akan diperoleh dan dapat dibagi-bagi antar para pengambil keputusan, penanggung jawab, maupun yang semestinya mengawasi. Seperti gonjang-ganjing mutakhir yang paling memalukan --- mega korupsi proyek e-ktp --- yang saat ini proses persidangannya sedang berlangsung.
Si Ahok memang tak normal.
Dia hanya memikirkan soal esensi dan substansi masalah. Bukan nilai proyek dan peluang keuntungan yang akan diperebutkan birokrat politik dan pemerintahan. Misalnya, seperti dalam soal bagaimana mengendalikan atau menghindari musibah banjir. Atau tentang cara mengurai kemacetan Jakarta yang begitu parah. Juga mengenai jaminan kesejahteraan dan ketersediaan biaya operasional aparat pemerintahannya agar mampu melaksanakan tanggung jawab sebaik-baiknya melayani masyarakat. Dan setetusnya.
Ahok memang hanya tertarik untuk memikirkan hal-hal yang harus dilakukan. Artinya sesuatu yang tidak bisa dan tidak perlu lagi ditawar-tawar untuk memberikan pelayanan terbaik bagi warga dan kota yang dipimpinnya. Contoh sikap dan langkah demikian misalnya terlihat pada berbagai penggusuran hunian liar yang mengganggu aliran sungai dan saluran pembuangan air. Juga pada kawasan-kawasan yang semestinya dimilki dan dimanfaatkan publik luas. Bukan hanya dikuasai segelintir orang --- yang atas nama dan dalih kemiskinan --- selama ini dibiarkan menyerobot (dan berpesta pora).
Selain hal-hal yang seharusnya, dia juga memimpin birokrasi pelayan masyarakat untuk memilih jalan dan cara terbaik. Maksudnya terhadap upaya untuk menyelesaikan masalah atau mencapai kemajuan. Bukan semata soal bagaimana agar usulan kegiatan dan anggarannya dapat disetujui.