“Ok, boleh!”
Beberapa hari kemudian saya diundang dan bertemu dengan pengurus Yayasan Kesenian Jakarta. Diantaranya hadir Pia Alisjahbana, Miranda Goeltom, Toety Heraty Noeradi, Wiyogo Atmodarminto, dan Adhie Moersid.
Saya Bersyukur.
Seandainya saya tak pernah melintas dan bercengkarama di sana, sebelah mata ini mungkin masih buta.
Di sana saya mencium peluh mereka yang tak henti-hentinya mencari dan menggali yang baru, asing, dan kadang tak ada. Mengisi ruang-ruang yang sebelumnya - dibalik kesibukan bertarung dengan jerat-jerat ketakutan dan keserakahan metropolitan - sering saya biarkan kosong dan terbengkalai.
Di sana saya mendengar derai tawa mereka yang begitu lepas setelah menyaksikan adegan konyol dan menjemukan dari semua kekuasaan yang sedang manggung. Kadang diselingi dengan isak tangis yang menyayat hati. Bukan karena disia-disiakan. Tapi karena dikhianati.
Di sana saya melihat ikhtiar, tekad, dan upaya mewujudkan kesempurnaan yang bersahutan. Acap tanpa bandrol. Tak juga menanti tepuk tangan.
Di sana saya rasakan sesuatu yang melengkapi hidup. Makhluk yang tak hanya menghargai sesama tapi juga yang lain. Manusia yang setara dan terus menggali.
Saya bahagia.