Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money

Ancaman Mogok Petugas Jalan Tol Akhir Oktober Itu Tak Perlu Terjadi

20 Oktober 2015   21:38 Diperbarui: 20 Oktober 2015   21:50 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Para pekerja jalan tol itu mungkin resah. Mereka aka dialihkan dari PT Jalan Tol Lingkarluar Jakarta, anak perusahaan PT Jasa Marga (Persero) Tbk, ke anak perusahaan lainnya yang baru dibentuk untuk menjadi perusahaan alih daya pengumpulan uang tol yang bernama PT Jasa Layanan Operasi. Padahal di anak perusahaan yang baru, mereka justru (akan) diangkat sebagai pegawai tetap. Sesuatu yang lebih pasti dibanding status kontrak ketika langsung di bawah perusahaan induk sebelumnya.

Presiden Serikat Karyawan Jalantol Lingkarluar Jakarta, Mirah Sumirat, menyatakan keberatan mereka karena perusahaan induk menjanjikan kesejahteraan yang lebih besar dibanding anak perusahaan yang baru. Bisnis jalan tol yang keuntungannya memang menggiurkan berdampak pada kesejahteraan karyawan tetapnya. Total gaji dalam setahun bisa mencapai 20 bulan gaji ditambah bonus hingga 5 bulan gaji. Standar kenaikan gaji setiap tahunpun disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan perusahaan. Bukan mengacu pada ketentuan Upah Minimum Regional (UMR) seperti di anak perusahaan yang baru. Total gaji yang diterima disanapun hanya 15 bulan dan tanpa bonus (http://news.detik.com/read/2015/10/20/183646/3048885/10/ini-alasan-pekerja-tol-mogok-kerja-28-29-dan-30-oktober).

Alasan itu lebih berkesan ‘kecemburuan rezeki’. Kecuali secara tegas memang dijanjikan untuk diangkat menjadi karyawan tetap jika telah memenuhi syarat tertentu setelah masa kontrak habis. Dengan demikian dapat dimaklumi jika mereka merasa berhak mengajukan tuntutan dengan ancaman melakukan pemogokan massal bahkan menutup jalan tol hingga tak dapat beroperasi. Itupun sebetulnya tak serta merta mudah karena makna ‘memenuhi syarat tertentu’ bisa memiliki keluasan tafsir yang rentan perdebatan.

Menurut pendapat saya, kekhawatiran semestinya yang mengemuka jika dialihkan dari perusahaan induk (dimana mereka bekerja selama ini) ke anak perusahaan alih daya (outsourcing) yang baru dibentuk adalah kepastian nasib dan masa depan meskipun (akan) diangkat sebagai karyawan tetap disana.

PT Jasa Layanan Operasi memang anak perusahaan yang dibentuk untuk mengelola alih daya (outsourcing) jasa pengumpulan uang tol. Undang-undang telah mensyaratkan batasan yang tegas dan jelas bagi karyawan-karyawan berstatus kontrak. Tak bisa terus-menerus berstatus demikian karena perusahaan dapat dianggap sekedar memerah tenaga dengan biaya murah tanpa tanggung-jawab kelangsungan hidup dan masa depan pekerja yang dikontraknya. Jadi, setelah waktu tertentu perusahaan memang diwajibkan mengangkatnya menjadi pegawai tetap.

Di sisi lain, pemerintah secara rutin melakukan ‘kesepakatan publik’ yang berujung dengan ketentuan peningkatan upah minimum. Sering terjadi, ketetapan yang diputuskan bukan didasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan. Tapi lebih karena hal-hal subyektif yang berbau politik kekuasaan dan pencitraan.

Sejumlah argumen sering diajukan, termasuk lembaga non-profit seperti Indonesian Corruption Watch yang dapat dibaca pada Laporan Tahunannya. Seandainya biaya-biaya siluman yang dipungut dan dikorupsi pejabat berwenang bisa dipangkas - lalu dialihkan untuk kesejahteraan pekerja - maka kemungkinan mereka dapat menerima upah yang jauh lebih layak. Hipotesa itu benar adanya. Tapi hingga hari ini pemerintah terbukti tak mampu memangkas dan mengenyahkan sikap lancung aparat yang melakukan praktek-praktek pemerasan maupun pungutan liar. Banyak perusahaan menghadapi dilema sehingga memilih mengeluarkan ‘biaya tak halal‘ tersebut asal kelancaran operasional usahanya tidak terganggu.

Pada akhirnya semua itu tentu membebani margin yang diperoleh. Apalagi pungutan liar justru semakin bervariasi dan memberatkan. Sementara, pemerintah menetapkan komponen upah yang terus meningkat setiap tahun. Di saat kondisi ekonomi yang naik-turun seperti akhir-akhir ini, sering terjadi, kenaikan biaya upah jauh lebih besar dari pertumbuhan bisnis perusahaan yang mempekerjakannya. Tak heran jika tersedia peluang ‘exit’, banyak perusahaan yang akhirnya tutup dan pindah ke daerah bahkan negara lain yang menjanjikan biaya - termasuk upah kerja - yang lebih murah.

PT Jasa Layanan Operasi memang bisa merupakan sekedar siasat yang selalu terjadi seperti banyak perusahaan-perusahaan alih daya yang marak akhir-akhir ini. Mereka berdiri untuk menaungi jasa penyedia tenaga kerja kasar yang bertumpu penuh pada otot dan minim keterampilan seperti keamanan, kebersihan, operator mesin, dan seterusnya.

Hubungan yang terjadi antara perusahaan induk dan anak perusahaan yang didirikan untuk menaungi tenaga alih daya itu sepenuhnya hubungan antar perusahaan. Biasa disebut dengan istiliah business to business. PT Jasa Marga (Perseroan) Tbk maupun PT Jalan Tol Lingkarluar Jakarta tentu lebih leluasa untuk menyesuaikan bunyi kontrak bisnis yang diberikan kepada PT Jasa Layanan Operasi itu. Jika karena satu dan lain hal terpaksa harus mengurangi atau tidak menggunakan lagi tenaga kerja yang biasanya dipasok ke sana maka tanggung-jawab yang terkait dengan nasib para pekerja itu bukan lagi urusan perusahaan induk melainkan anak perusahaannya.

Sesungguhnya, dengan menyikapi resiko yang harus dipikul, perusahaan-perusahaan alih daya seperti PT Jasa Layanan Operasi itu semestinya membebankan ongkos yang jauh lebih tinggi dibanding biaya yang perlu dikeluarkan langsung oleh PT Jasa Marga (perseroan) Tbk maupun PT Jalan Tol Lingkarluar Jakarta. Selain untuk membiayai overhead dan operasional pengelolaan, sejumlah resiko yang akan ditanggung seandainya harus melakukan pemutusan hubungan kerja nantinya perlu dipertimbangkan dalam struktur biaya yang diajukan. Apalagi jika (hampir) seluruh sumber pendapatan perusahaan alih daya bersumber dari nilai kontrak karena mempekerjakan karyawan-karyawan yang dipasoknya. Dengan kata lain, tingkat resiko perusahaan alih daya hanya bisa dipekercil jika volume transaksi usahanya semakin besar dan tidak bersumber tunggal. Maksudnya selain perusahaan jalan tol mereka juga memasok pekerja ke badan usaha-badan usaha lain.

Agar skala usaha untuk mengelola perusahaan alih-daya pemungutan tol itu mencukupi maka yang terjadi kemudian adalah ‘kesepakatan’ monopoli. Perusahaan sejenis yang lain akan dihambat agar keberlangsungan hidup anak perusahaan alih daya lebih terjamin. Sejarah mencatat aktivitas monopoli yang meniadakan persaingan tak pernah sehat dan cenderung menyebabkan biaya tinggi.

Menyiasati kebijakan ketenaga-kerjaan yang terkait dengan strategi alih-daya (outsourcing) hari ini bisa dilakukan jika dan hanya jika perusahaan memiliki dan mengembangkan strategi pengembangan usaha yang bertaut dengan program peningkatan keterampilan dan kapasitas karyawan-karyawatinya. Dengan demikian sumber pendapatan tidak selamanya bergantung penuh dari nilai kontrak alih daya pemungutan tol tapi juga usaha-usaha baru lain yang dikembangkan. Begitu juga dengan karyawan-karyawati yang bekerja disana. Peningkatan keterampilan dan kapasitas mereka membuka peluang peningkatan kemampuan yang tidak sepenuhnya bertumpu dari otot dan fisiknya saja. Tentu perusahaan perlu berperan serta memfasilitasi peningkatan keterampilan dan kapasitas itu.

Sebetulnya begitu banyak peluang yang terkait langsung dengan usaha utama perusahaan jasa pengelola jalan tol. Sayangnya, selama ini tak pernah berkembang atau dikembangkan dalam semangat upaya strategis untuk mensinkronisasikannya (sinergi) dengan tantangan dan hambatan yang dihadapi. Meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan sumberdaya manusia yang menyokong kelangsungan usaha merupakan tantangan permanen yang dihadapi hampir semua korporasi yang mapan. Sementara kualitas sumberdaya yang beragam - khususnya pada tingkat bawah yang paling rendah - merupakan tantangannya. 

Seandainya PT Jasa Marga sungguh-sungguh menyikap tantangan dan hambatan yang sudah bisa terbaca sejak dahulu kala itu, kantong-kantong peristirahatan (rest area) yang kini banyak berkembang di sepanjang jalan tol merupakan salah satu peluang usaha yang dapat disinergikan. Tempat istirahat tersebut sesungguhnya merupakan ‘obligasi’ yang harus disediakan perusahaan bagi pengguna jalan tol. Ketika panjangnya masih terbatas dan belum saling terhubung seperti sekarang, meski dipersyaratkan, keberadaan tempat istirahat belum memiliki daya tarik bisnis yang menggiurkan.

Tempat peristirahatan jalan tol Jagorawi yang berada di kawasan Sentul masih terlihat kumuh dan sepi pada tahun 1990-an. Bisnis rest area baru mulai marak berkembang setelah jalan tol Jakarta-Cikampek tersambung dengan yang lain. Kebutuhan istirahat para pengguna jalan tol tiba-tiba meningkat. Setelah itu, berturut-turut tempat peristirahatan baru muncul. Bahkan yang sebelumnya kumuh dan sepi berbenah diri.

Usaha kantong istirahat belum berkembang bahkan belum menarik bagi ruas-ruas yang pendek dan belum terhubung dengan tol lain. Hal tersebut bisa dilihat pada jalan tol Belmera (Belawan-Medan-Tanjung Morawa) yang ada di Sumatera Utara saat ini. 

Mengembangkan anak perusahaan yang khusus menangani alih daya pemungutan tol bisa jadi sebuah keniscayaan jika dan hanya jika didasarkan pertimbangan untuk mencapai kinerja pengelolaan pelayanan yang lebih baik. Organisasi yang ramping dan fokus tentu memudahkan pengelolaan usaha sehingga bisa jauh lebih lincah dan agresif mengembangkan peluang-peluang usaha yang ada. Begitu pula semestinya yang diniatkan pada anak perusahaan yang akan difungsikan sebagai alih daya. Tentu perlu disertai dengan cetak-biru peluang pengembangan usahanya ke depan.

Bagaimanapun, pucuk pimpinan dan manajemen PT Jasa Marga maupun PT Jalan Tol Lingkarluar Jakarta pasti memahami bahwa seiring dengan perjalan waktu, teknologi akan semakin mampu menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin yang dilakukan manusia. Selain pertimbangan efektifitas dan efisiensi - termasuk meminimalisasi kesalahan yang mungkin dilakukan manusia - upah tenaga kerja memang akan terus meningkat. Jika tidak ada upaya terobosan dalam business-model dan tetap bertumpu sepenuhnya pada tenaga manusia maka kelangsungan usaha dapat terancam.

Jadi, seadainya induk perusahaan pemilik dan pengelola jalan tol pelat merah itu memasukkan cetak biru pengembangan usaha kantong-kantong peristirahatan ke dalam stategi usaha anak perusahaan alih-daya seperti PT Jasa Layanan Operasi, niscaya peluang peningkatan kesejahteraan dan masa depan karyawan kontrak pemungut tol yang dialihkan ke sana akan semakin terjamin, bahkan mungkin bisa lebih baik. Tidak seperti saat ini dimana peluang usaha dan perolehan dari kegiatan kantong-kantong istirahat justru dicatatkan sebagai pendapatan lain-lain perusahaan induk. Seolah-olah blessing in disguise dari yang semula menjadi beban biaya perusahaan.

Cetak biru tentang pengalihan fungsi-fungsi yang kini masih padat karya kepada teknologi yang padat modal juga perlu disiapkan dan disosialisasi sejak dini. Para pekerja yang mengumpulkan tol itu harus memahami bahwa keberadaan mereka tidak bersifat permanen dan selamanya. Sistem database, teknologi informasi, dan komputasi yang berkembang amat pesat sekarang, pada suatu hari nanti, mau tidak mau akan menggantikan mereka. Dengan kata lain, para pekerja itu harus menyadari bahwa mereka harus bersungguh-sungguh memanfaatkan peluang peningkatan kemampuan dan keterampilan yang disediakan perusahaan. Hanya dengan cara demikian mereka dapat bertahan dan dipertahankan. Bukan sebagai keharusan yang mutlak. Meskipun plat merah, sebagai perusahaan komersial, perusahaan pemilik dan pengelola jalan tol tetap harus menghasilkan laba kepada pemegang sahamnya.

Walau belum menyeluruh, sebagian besar fungsi manusia sesungguhnya kini sudah tergantikan. Ketika kendaraan memasuki beberapa gerbang masuk tol yang menyediakan perangkat mekanik otomatis, tak diperlukan tenaga kerja manusia disana. Begitu juga dengan sistem pembayaran di gerbang keluarnya. Semua itu niscaya sebagai fakta yang harus mereka akui dan hadapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun