Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Krisis di Kalimantan Timur Bukan Tsunami tapi Karena Hujan di Hulu yang Tak Kunjung Berhenti

2 Oktober 2015   22:20 Diperbarui: 2 Oktober 2015   23:11 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Makna dan pemahaman kita tentang 'gotong-royong' sedang dipertaruhkan, bukan disimpan di laci perpustakaan"][/caption]Bumi etam (bahasa Banjar - red), rumah kita, sedang menghadapi musibah. Kemarin, 30 September 2015, harian Kalitim Post menyindir pedas.

“Kaltim ‘Juara’ PHK“ katanya.

Sehari kemudian, 1 Oktober 2015, harian itu kembali menyinggungnya. Disajikan bersama artikel ledakan pencari kerja menyusul usainya ribuan mahasiswa lulus dan wisuda di Universitas Mulawarman kemarinnya. Terselip berita kalau Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur tak kaget dengan capaian “prestasi” yang dipublikasikan media lokal Jawapos Group itu.

Terkutip juga keterangan Awang Faroek - gubernur Kaltim saat ini - yang mengatakan bahwa beliau sudah menghimbau, perusahaan-perusahaan yang tak kuasa menanggung derita ekonomi yang merosot, untuk memberitahukannya terlebih dahulu sebelum melaksanakan pemutusan hubungan kerja. Memang ada 10 saran yang katanya pernah disampaikan kepada para pengusaha. Mengurangi gaji dan memangkas biaya adalah beberapa diantaranya. Tapi, dari atas kursi rodanya - demikian dilaporkan Kaltim Post - sang gubernur mengaku tak kuasa apa-apa jika akhirnya pengusaha mengambil langkah PHK sonder memberitahukan.

“Karena mereka yang mengetahui bisnisnya”

[caption caption="Secara nominal PHK di Kalimantan Timur tertinggi tapi dari rasio terhadap penduduk masih di bawah Kepulauan Riau "]

[/caption] 

***

 

Kita semua maklum jika krisis yang dihadapi hari ini merupakan rangkaian panjang berbagai masalah yang saling sahut-menyahut. Ada faktor menukiknya harga pasaran batu bara yang beberapa tahun terakhir ini menjadi ladang rezeki yang menciprati Kalimantan Timur. Dikatakan demikian karena sebagian besar dinikmati penguasa dan pengusaha di luar Bumi Etam. Ada juga pengaruh panas-dinginnya rupiah akibat gertakan The Fed Amerika kepada dunia untuk menaikkan tingkat suku bunganya yang tertunda-tunda terus hingga sekarang. Belum lagi soal penyerapan anggaran belanja pemerintah yang masih sangat rendah. Dan seterusnya.

Sekarang mungkin tak begitu tepat jika kita membahas rangkaian penyebab-penyebab itu. Tetap perlu tapi bukan yang paling penting!

Jauh lebih penting adalah memikirkan cara bagaimana menyelamatkan rumah kita ini, Bumi Etam, dari guncangan-guncangan yang masih berlangsung.

 

***

 

Ketika tsunami menerjang Aceh dan sebagian wilayah pulau Sumatera lainnya beberapa tahun lalu, Indonesia tersentak dan tergerak serentak mengulur tangannya. Alkisah, Surya Paloh, salah seorang putera berdarah Aceh yang malang-melintang di Jakarta dan menguasai media - Metro TV dan harian Media Indonesia - menjadi salah satu inisiator utama yang menggalang gotong-royong itu. Berbagai bangsa tetangga maupun dari belahan dunia lain juga berpartisipasi lewat beragam cara. Berselang beberapa waktu kemudian Aceh kembali normal dengan beberapa bekas luka yang telah mengering tapi dibiarkan dan tak perlu ditutupi melalui operasi pelastik. Bekas luka itu dipertahankan sekedar pengingat bagi generasi berikut tentang bencana hebat yang pernah terjadi di sana.

 

***

Krisis yang sedang dihadapi Kalimantan Timur - sebagaimana juga yang dialami Indonesia pada umumnya - memang tak sepadan dengan bencana tsunami. Tak ada guncangan hebat yang meretak tanah dan bangunan. Tak ada gelombang laut yang tinggi dan bergulung-gulung menerjang daratan. Tak ada angin kencang yang menyapu bangunan dan ladang pertanian.

Mungkin hanya seperti hujan yang turun tak henti-henti di hulu sungai sana. Pelan tapi pasti, gelombang air kiriman terus membanjiri daratan yang dilaluinya menuju hilir. Semakin lama semakin besar dan semakin keras menyapu apapun yang dilewati. Membuat pondasi tiang-tiang bangunan di tepinya rapuh. Menghanyutkan pakaian, hasil pertanian, dan apapun yang diletakkan di halaman. Air yang terus meninggi telah masuk ke dalam rumah. Membasahi perabotan dan persediaan makanan. Belum surut. Bahkan terus meninggi hingga tak lama lagi sampai di bubungan atap.

Hujan belum berhenti dan tak tahu kapan. Ya, memang tak pernah begini. Tapi mereka yang ada di ketinggian - di bukit-bukit yang mengitari dataran serendah aliran sungai yang banyak dihuni penduduk itu - tak hendak berpangku tangan. Ada yang resah menyaksikan dari atas permukaan air yang pelan tapi pasti terus menenggelamkan apapun yang ada di tepian sungai yang berada di bawah sana.

Salah seorang yang tinggal di bukit sana lalu bergegas. Mengajak tetangga yang lain mendirikan tenda darurat di kawasan yang lebih tinggi dan tak terjangkau banjir bandang yang belum juga surut itu. Membangun dapur umum. Berkeliling kampung mengajak yang lain menyingsingkan lengan baju, menyisihkan sebagian simpanan makanan, pakaian, dan perlengkapan hidup yang dimiliki.

Lalu kemudian mengajak yang lain turun dari bukit mereka yang aman ke bawah, ke daratan serendah sungai yang alirannya semakin deras dan permukaan semakin tinggi itu, membantu keluar dan menyingkir mereka yang terjebak disana. Di mulai dari anak-anak, warga yang sepuh, kaum wanitanya, lalu para pria, bahkan ternak-ternak yang masih tersisa untuk diselamatkan.

 

***

 

Hujan di hulu belum berhenti dan tak tahu kapan. Jika masih menerus begitu maka bukit yang sekarang digunakan untuk berteduh sementara itupun bisa tenggelam. Tapi masih cukup waktu mencermatinya. Menghitungnya masak-masak sebelum memutuskan untuk lari ke gunung yang lebih tinggi. Jika memang perlu.

Tapi ketika hujan reda nanti, dan permukaan air kembali surut, ia akan mengajak yang lain untuk sungguh-sungguh membahas penyebabnya. Baik mereka yang tinggal di bukit maupun penghuni daratan serendah sungai yang kini mengungsi ke atas.

Hujan lebat yang tak henti-henti itu mungkin karena hutan-hutan yang telah gundul di hulu sana. Mungkin karena anomali cuaca yang jengkel karena paru-parunya pernah kita porak-porandakan. Mungkin karena kita tak berterima kasih kepada Nya. Mungkin lupa menyediakan payung.

Dan saat ini, ketika permukaan sungai yang pelan tapi pasti telah menenggelamkan semua yang ada di tepinya, tetap dibutuhkan seseorang dari atas bukit sana untuk menggerakkan yang lain bergotong-royong membantu dan menyelamatkan saudara-saudaranya yang tertimpa musibah.

~ 1 Oktober 2015 ~

Catatan : Tulisan ini terinspirasi dari kondisi lokal Kalimantan Timur yang saya saksikan saat berkunjung kemarin. Telah dipublikasikan pada salah satu media sosial yang berdomisili di salah satu kota di sana. Tapi mungkin memiliki benang merah dengan daerah-daerah yang lain, bahkan Indonesia pada umumnya. Mohon maaf jika sudah membacanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun