Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dewi Malaka, Maafkan Aku

30 September 2015   12:49 Diperbarui: 30 September 2015   13:01 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namanya Dewi. Rambutnya ikal. Riang walau cukup pendiam dibanding yang lain. Ketika masih di bangku sekolah dasar, aku dan dia selalu berada di kelas yang sama. Sekolah kami dulu adalah lembaga pendidikan swasta Islam terbaik di kota Medan.

Hampir semua keluarga terpandang dan tokoh-tokoh berpengaruh di kota itu menyekolahkan anak-anaknya di sana. Walau orangtuaku bukan dari kalangan hebat dan hanya pegawai menengah, mereka tetap mengirim kami - aku dan keempat adik-adik - belajar di sana. Pastilah tak mudah. Untuk ukuran penghasilannya, sekolah swasta itu tentu cukup mahal. Apalagi untuk 5 orang anak. Tapi mungkin ayah dan ibuku berfikir ingin memberikan yang terbaik bagi kami anak-anaknya.

Dewi dan keluarganya tinggal di jalan Malaka. Tak begitu jauh dari rumahku. Masih dalam jangkauan ruteku bersepeda bersama teman-teman waktu kecil. Setiap sore kami sering melintas disana. Kadang dia sedang bermain di halaman rumahnya. Mungkin dengan saudaranya atau anak-anak tetangga. Aku tak tahu persis.

Sering aku bersama teman-teman mampir sejenak jika pohon jambu air di halaman rumahnya sedang berbuah. Beramai-ramai kami memanjat dan mengambil buahnya yang kecut-manis, lalu melahap sambil tertawa-riang. Sungguh masa kanak-kanak yang membahagiakan. Segalanya masih begitu sederhana. Dan polos.

Seingatku, terakhir kali melihat Dewi di sekolah ketika kami masih duduk di bangku kelas empat. Hingga suatu hari dia menghilang. Tak pernah lagi hadir di kelas kami.

Semula aku mengira dia sakit. Begitu juga teman-teman yang lain. Sehari, dua hari, seminggu, dan seterusnya. Ia tak pernah lagi terlihat diantara yang lain. Hingga suatu hari, ketika bersepeda sore bersama kawan-kawan, kami lewat di depan rumahnya yang berada di ujung jl. Malaka dekat persimpangan jl. Thamrin di kota Medan itu.

Pintu pagar halaman rumahnya tertutup rapat. Dari luar kami hanya menyaksikan bangunan yang lengang. Agaknya sudah dikosongkan dan tak ada lagi yang tinggal di sana. Mereka sekeluarga telah pindah entah kemana. Kami tak pernah lagi memanjat pohon jambunya. Atau bermain petak umpet di halaman rumah yang luas itu.

Peristiwa itu terjadi di pertengahan tahun 1970-an. Di sekolah atau di lingkungan sekitar rumahku yang letaknya tak jauh dari kediaman Dewi, menjalar bisik-bisik. Orangtuanya bersangkut-paut dengan Partai Komunis Indonesia. Aku tak pernah tahu sejauh apa dan sampai dimana keteribatannya pada partai yang terlarang itu. Mungkin ayahnya, ibunya, atau keduanya telah ditangkap. Lalu Dewi dan saudara-saudaranya diungsikan ke rumah kerabat yang lain. Atau lenyap?

Hari ini aku mencoba menggali kembali ingatan yang dulu. Suatu hari, beberapa bulan atau beberapa tahun setelah Dewi menghilang dari sekolah kami, ketika melintas di depan rumahnya bersama almarhum ayah, aku bertanya apakah beliau kenal dengan orangtua kawanku itu.

“Mereka PKI, nak. Hati-hati memilih kawanmu. Bahaya!”

Sepanjang jalan yang tak jauh lagi dari rumah kami itu, ayah bercerita bahwa PKI dan pengikutnya adalah musuh bangsa. Siapapun yang terlibat akan ditangkap. Mereka harus dihindari j uga keluarganya. Jadi, sebaiknya kenalnya pun jangan.

Dewi memang bukan temanku yang istimewa. Kami hanya bercanda sekali-dua. Dan sebagai anak, nasehat itu kuterima begitu saja. Aku tak pernah lagi mencari tahu tentangnya. Di bawah sadar telah tertanam sikap awas seperti yang disarankan ayah : hindari dan menjauh dari siapapun yang tersangkut-paut dengan partai komunis! Termasuk keluarga dan sanak-familinya!

***

Hal yang kuceritakan di atas hanyalah ingatan. Bukan pengetahuan.

“Mengetahui adalah menguasai realitas; mengingat tak selamanya menguasai masa lalu”

Potongan kalimat itu aku cuplik dari Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang berjudul “Luka” di mingguan Tempo edisi 21-27 September 2015 yang lalu.

***

Menggali pengetahuan untuk memahami sejarah bangsa ini baru menarik perhatianku ketika beranjak dewasa dan duduk di bangku kuliah. Memang tak kulakukan secara khusus. Lebih sebagai mengisi waktu senggang. Melalui sejumlah bacaan di media massa dan buku-buku. Atau menonton video dokumentasi maupun filmnya. Sekali-dua lewat diskusi terbatas. Dan semua terjadi secara serba kebetulan. Tanpa ikhtiar khusus.

Ketika aku kuliah di Bandung beredar salinan buku-buku yang ditulis tokoh Lekra. Singkatan dari Lembaga Kesenian Rakyat, salah satu jaringan organisasi PKI. Salah satu yang terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer. Tetraloginya - Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca - termasuk buku-buku yang dilarang beredar oleh penguasa saat itu. Hal yang malah merangsang gairah ingin tahu bagi sebagian mahasiswa seperti diriku. Setelah selesai membaca keempatnya, aku justru bingung karena tak menemukan alasan mengapa karya sastra yang bagus itu tak boleh dibaca. Mungkin itu yang menjadi salah satu sebab ketertarikanku secara pribadi untuk mencari tahu dan menggali pengalaman tentang sejarah perjalanan bangsa ini. Bukan hanya soal PKI dan komunisme. Aku juga tertarik dengan sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah masyhur di bumi pertiwi ini. Mengenai penjajahan Belanda, pergulatan pemuda-pemudinya meraih kemerdekaan, Islamisme, proses kelahiran Pancasila, perjalanan Orde Baru, dan sebagainya. Tentu semua kulakukan secara amatiran, bukan profesional.

Maka pastilah pengetahuanku jauh dari cukup.

Menjelang hari ini - 30 September 2015 - 50 tahun setelah pembantaian jahanam terhadap 6 Jenderal dan seorang Kapten yang berakhir di Lubang Buaya itu, banyak artikel di media sosial maupun cetak mengulas peristiwa menyedihkan itu kembali. Juga tentang berbagai implikasinya. Juga tentang harapan untuk menyikapi sejarah yang kelam itu.

Berbagai fakta sejarah memang menunjukkan kalau kita telah bereaksi berlebihan terhadap saudara sebangsa dan setanah air pasca tindakan berutal yang menamakan diri Gerakan 30 September itu. Tak ada angka yang pasti tapi jutaan yang disiksa dan dibantai - sebagian besar tanpa peradilan yang semestinya - karena dicurigai sebagai bagian, pendukung, simpatisan, atau sekedar kerabat dan anggota keluarga partai komunis yang kini telah terlarang itu. Banyak hak asasi mereka yang telah dan pernah kita rampas (Franz Magnis-Suseno, “Membersihkan Dosa Kolektif G30S”, harian Kompas, 29 September 2015).

Memang tak ada manusia yang sempurna. Kodrat hidupnya memang harus selalu berdampingan dengan nafsu duniawi : kekuasaan dan juga ketakutan. Maka masa lalu yang kelam itu selayaknyalah kita akui dengan penyesalan yang utuh. Biar luka itu sembuh. Walau mungkin tetap berbekas.

Setelah sekian lama - mungkin 40 tahun - aku teringat kembali pada teman kecilku yang berambut ikal dan pendiam itu: Dewi Malaka. Kepadanya aku ingin memohon maaf dengan sepenuh hati. Mudah-mudahan kau baik-baik saja, kawan! Jika kau masih ada di sini, percayalah, masih banyak kebaikan yang dapat dan perlu kita lakukan bersama untuk kemanusiaan dan kehidupan fana ini.

- 30 September 2015 -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun