Jadi, ada dan tiadanya para planolog itu tak berpengaruh pada ruang kota dan wilayah yang tetap hidup sekehendak penguasa, pengusaha, dan warga yang menghidupinya.
Kalau begitu, untuk apa ada jika tiada? Ketika kecil, orangtua, guru sekolah, dan guru ngaji sering berpesan agar hidup saya harus bermanfaat. Jika mengetahui dan mampu melakukan sesuatu tapi membiarkan kezaliman menjadi lazim sama artinya dengan tidak mensyukuri rezeki yang dihadiahkan Tuhan dan mengudang kemurkaan-Nya. Begitu kira-kira sari dari wejangan-wejangan mereka.
Kalau begitu, apakah semua planolog mesti divonis jahat saja? Tentunya termasuk diri saya ini yang punya sertifikat lulus dari jurusan Teknik Planologi, ITB.
Jika demikian, agar terjadi distribusi yang proporsional, rasanya perlu melakukan kategorisasi vonis jahat itu. Alumni planologi yang termasuk kategori "sedikit jahat" mungkin diberikan kepada para lulusan yang memilih untuk melanjutkan hidup dengan bekerja diluar profesi perencana kota maupun wilayah. Bagaimanapun mereka tetap jahat karena sedikit-banyak sesungguhnya faham dan mengetahui bagaimana semestinya kota dan wilayah tempat tinggal mereka ditata dan dikelola. Mereka --- dalam hal ini termasuk saya --- membiarkan kezaliman menjadi lazim. Kejahatan mereka dikategorikan sedikit karena dengan sadar telah memilih diam dan tidak memperkeruh kesemerawutan dengan terlibat di proyek-proyek penataan dan perencanaan itu.
Kategori berikutnya adalah kelompok yang "agak jahat". Mereka adalah yang bersikukuh untuk berprofesi sebagai penyedia jasa perencanaan kota dan wilayah tapi tak protes dan tetap menerima meski dana, waktu, dan informasi yang dimiliki tak mencukupi untuk melakukan pekerjaannya. Pilihan itu mungkin sebuah keterpaksaan. Jika ada kemampuan yang lain agaknya mereka pasti akan lain ceritanya. Bukankah bekerja juga membutuhkan sebuah gairah dan tantangan?
Selanjutnya tentu kategori "jahat yang sedang-sedang saja". Tanpa mengurangi rasa hormat dan cinta saya kepada rekan-rekan yang mengira dirinya telah bersusah payah membagi ilmu dan pengetahuan kepada setiap pemuda-pemudi Indonesia yang terjerumus atau menjerumuskan diri di jurusan Planogi, saya menominasikan mereka yang berdiri di depan ruang-ruang kuliah kampus ke dalam kategori ini. Soalnya, meski sudah mengetahui tak ada manfaat nyata dari ilmu yang dibicarakan, mereka tega mengelabui pemuda-pemudi yang penuh gairah belajar disana. Mereka sesungguhnya adalah yang paling memahami hal paling dasar bagi keberlangsungan disiplin ilmu yang ditekuni, yaitu perlunya gerakan publik dan dobrakan politik agar keberadaan dan kebutuhan akan bidang profesi yang kita tekuni diakui seutuhnya! Mungkin dosanya sedikit terampuni jika mereka rajin memprovokasi pemuda-pemudi itu turun ke jalan dan menduduki gedung wakil rakyat untuk memperjuangkan keberadaan nyata profesi perencanaan kota dan wilayah! Sebaliknya, dosa mereka semakin besar jika hanya berdiam diri menyaksikan bekas mahasiswa atau sejawat yang pernah atau sedang memangku jabatan terkait tata ruang maupun perwilayahan di instansi pemerintah pusat maupun daerah, hidup bergelimang kemewahan sementara kota atau wilayahnya semakin awut-awutan!
Lalu, siapa yang termasuk kategori "cukup jahat"? Mereka adalah alumni yang berkiprah di ranah kekuasaan tapi tak berani bersikap saat bidang keahliannya dicabik-cabik sementara persoalan kota dan wilayah yang di depan mata telanjangnya semakin runyam dan awut-awutan. Sesungguhnya peluang menebus dosa kita semua sudah dekat dengan genggaman mereka tapi demi alasan praktis dan jamak, semua itu tak pernah dilakukan. Layak dikatakan "cukup" jahat karena tanpa rasa malu dan sungkan menimbun harta kekayaan yang jauh melebihi logika normal jika dihitung dari rezekinya sebagai pegawai negeri. Tanpa rasa malu dan sungkan pula mereka memperkenalkan diri sebagai pejabat di bidang terkait dengan kota dan wilayah itu!
Kategori terakhir adalah "sangat jahat". Bagi saya, rekan-rekan yang tidak melakukan apapun untuk memperbaiki posisi dan kedudukan disiplin ilmu pengetahuan perencanaan kota dan wilayah di tengah masyarakat Indonesia saat ini, tapi membiarkan anak kandungnya melanjutkan pendidikan tinggi di Planologi, adalah termasuk kategori ini. Ceritanya mungkin lain jika dia sedang berjuang untuk menegakkan eksistesi profesi dan ilmu pengetahuan perencanaan kota dan wilayah, dan untuk meneruskan cita-citanya, maka diapun membimbing anaknya untuk meneruskan perjuangannya menegakkan itu semua!
Saya memaklumi "kekurang-ajaran" surat terbuka ini. Percayalah, ini adalah wujud rasa cinta-kasih saya kepada almamater dan rekan-rekan alumni yang lain. Waktu berjalan dan tak ada lagi sisa jeda untuk menunggu. Bagaimanapun, sebagai sesama "penjahat", saya mengucapkan selamat ulang tahun, selamat ber-dies natalies Plano-50!
Jakarta, 13 November 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H