Tukang siomai yang biasa mangkal di depan tempat praktek dokter anak yang terkenal itu juga tetap memilih puskesmas di pinggir kota untuk mengobati anaknya yang terserang diare. Meskipun sesungguhnya dia meragukan pengalaman dokter muda yang ditugaskan disana. Pilihan itu sangat mungkin bukan karena alasan kepraktisan, tapi lebih disebabkan bayangan jumlah rupiah yang harus dikeluarkan untuk membayar jasa sang dokter dan menebus resep obatnya. Seperti pengacara yang dibayangkan supir metromini tadi, bisa saja sang dokter justru tidak meminta biaya sepeserpun kepada tukang siomai itu. Soalnya, tanpa disadari si tukang siomai, kelezatan panganan yang dijualnya punya andil dalam mempopulerkan tempat praktek sang dokter. Bahkan bukan tidak mungkin pula kalau dokter itu akan memberinya obat cuma-cuma karena di tempat prakteknya banyak produk contoh yang ditinggal para agen penjualan perusahaan farmasi yang memang rajin berkunjung.
Walaupun sesama manusia, menghakimi oknum yang berprofesi sebagai dokter sebagai tokoh baik atau jahat --- seperti juga pengacara, akuntan, arsitek, pelukis, dan profesi sejenis yang lain --- tentu tidak sehitam-putih menghakimi polisi. Polisi tak boleh, dan tentunya tak bisa memilih-milih masyarakat yang harus dilayaninya. Semua sama di depan hukum, mulai dari pembayar pajak terbesar hingga yang seumur hidupnya tak pernah satu senpun membayar pajak. Demikian teorinya. Jadi, ketika kenyataan di lapangan berbeda maka dengan mudah kita menemukan sebuah jalan masuk untuk menggiring jatuhnya vonis bagi sang oknum sebagai polisi yang sedikit jahat atau sedikit baik hingga sangat jahat atau sangat baik.
Tapi bagaimana dengan planolog atau para ahli perencanaan lulusan jurusan Planologi?
Kalau ditanyakan kepada saya tentang mengapa mereka perlu ada, wah ini sangat repot menjawabnya!
Apa benar saya dan mereka yang belajar dan lulus dari bidang keahlian itu diharapkan berfungsi untuk dapat mengawal ruang tempat manusia hidup dan melakukan aktivitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik agar dapat tertib, rapi, nyaman, asri, efisien, efektif, komprehensif, terpadu, dan seterusnya istilah lain yang kini saya sudah lupa?
Pada beberapa profesi yang dicontohkan di atas, walau kadang muncul berita miring, tapi sering kita mendengar kabar baik dan membanggakan. Bagaimana dengan planner, atau planolog, atau ahli perencanaan yang disematkan ke dada lulusan Planologi? Saya kira masih mending mafia peradilan yang oleh salah satu stasiun TV Nasional diasosiasikan sebagai kentut! Meski wujudnya tak bisa ditangkap mata tapi bau busuknya bisa tercium. Kalau planolog atau planner, wujudnya jelas-jelas ada dan tersebar dimana-mana tapi baunya --- entah harum ataupun busuk --- tak pernah tercium sama sekali!
Celakanya, tak ada ruang kota, apalagi wilayah, di Indonesia ini yang dari waktu ke waktu memang menjadi lebih baik! Kalau bicara Indonesia mungkin terlalu naif ya. Coba perhatikan kota Bandung sajalah!
Di kota yang dikenal sebagai Paris van Java itulah untuk pertama kalinya Republik Indonesia melahirkan jurusan Planologi sebagai salah satu kurikulum pendidikan di ITB. Bagaimana mungkin kota itu melakukan klaim tentang keberadaan para ahli perencana kota dan wilayahnya? Dari hari ke hari kota Bandung semakin kacau dan semerawut. Kawasan Dago Pakar yang dulu disakralkan agar pembangunan fisiknya sangat dibatasi kini berkembang menjadi kompleks perumahan dan restoran mewah. Bahkan di salah satu bagiannya kini bertengger bangunan apartemen yang menjulang tinggi.
Boleh dibilang Bandung berkembang tanpa kendali sehingga bukan hanya sekedar mengganggu kegiatan observasi bintang di Boscha tapi juga menyebabkan kisah kota yang nyaman dan sejuk kini tinggal legenda. Kemacetan lalu-lintasnya semakin menjadi-jadi bukan semata karena penambahan panjang dan lebar jalan yang sangat terbatas sementara pertumbuhan kendaraan pesat luar biasa, tapi juga karena maraknya perubahan fungsi bangunan yang semula rumah tinggal menjadi usaha komersial yang mengundang banyak pengunjung. Ditambah lagi tak ada upaya nyata dan berarti dalam perbaikan layanan angkutan umum yang mewakili kecanggihan daya pikir para ahli perencanaan itu.
Berbeda dengan polisi, meski ada oknum yang jahat, tapi banyak yang baik. Misalnya, mereka yang bekerja tak kenal lelah hingga berhasil meringkus gembong teroris yang meresahkan dunia. Demikian pula dengan oknum dokter. Meski banyak dokter nakal yang dengan sengaja memeras kantong pasien sehingga banyak kalangan berduit memilih berobat di luar negeri, tapi sangat banyak pula yang berjasa menyembuhkan penyakit dan menyelamatkan nyawa masyarakat yang menjadi pasiennya. Hal yang sama bisa diuraikan panjang lebar bagi profesi-profesi lain yang disinggung di atas, kecuali planolog atau perencana kota dan wilayah!
Sungguh sangat sulit saya mengetengahkan jasa baik yang sudah disumbangkan para planolog dalam kehidupan tata ruang Indonesia. Sama pula sulitnya untuk menudingkan telunjuk bahwa semua kesemerawutan yang terjadi adalah akibat ulahnya! Pasalnya sangat klasik : tongkat komando yang berkuasa mengatur itu semua tak berada di tangan mereka!