Sebenarnya, Di Ambang Kematian bisa jadi film horor yang ciamik. Modal untuk menjadi film horor yang mengguncang penonton sudah dimiliki oleh kisah yang dibintangi Teuku Rifnu Wikana dan Taskya Namya tersebut.
Hanya saja, saat diolah, rasanya film ini masih perlu digodok lebih lama lagi untuk mendapat cita rasa yang pas hingga bisa membuat saya merasa "nah, cakep!".
Secara visual, mulai dari sinematografi secara umum, desain produksi, kostum, tata rias dan prostetik, efek dramatis, semuanya sudah pas dan on point.
Sutradara Azhar "Kinoy" Lubis pun menurut saya sudah mengarahkan film ini dengan cukup baik. Fokus cerita dan dramatisasi sudah cukup, ditambah dengan komposisi dalam gambar yang pas, film ini sebenarnya secara visual sudah "enak".
Meskipun, saya merasa perlu evaluasi pada beberapa frame dan adegan. Seperti pada adegan hutan yang tone birunya terasa terlalu palsu, atau gambar yang seperti ngadat saat kamera panning dalam adegan pembagian daging kambing.
Namun ya sudah lah. Kekurangan teknis satu-dua di sejumlah bagian masih bisa saya toleransi, mengingat bagaimana tone dan feel secara keseluruhan dari film ini bisa saya cerna secara nyaman.
Setelah rampung, saya berpikir, mengapa film dengan bahan yang cukup bagus ini masih belum bisa memuaskan saya? Akhirnya saya merasa masalahnya ada di dalam penggodokan naskah.
Naskah yang ditulis oleh Erwanto Alphadullah berdasarkan cerita JeroPoint sebenarnya tidak buruk. Hanya saja, naskah itu rasanya masih bisa diuji dan dikaji lebih sering sebelum akhirnya dieksekusi di lokasi syuting.
Horor yang ada dalam naskah film ini kurang terasa bila dibandingkan dengan utas dari JeroPoint pada 2022 lalu. Memang, masing-masing pembaca pasti punya gambarannya sendiri membayangkan utas viral tersebut.
Namun sebenarnya justru di situ yang dirasa kurang tereksplorasi. Soal kompleksitas masalah sosial-ekonomi yang berbalut dengan horor, ditambah dengan bumbu-bumbu drama keluarga di film ini agaknya terasa tanggung.
Selain itu, porsi jumpscare dalam film ini juga saya rasa masih 'kurang gas' untuk bisa bikin adrenalin berpacu. Azhar sebagai sutradara juga semestinya bisa memperbaiki mood horor yang lebih baik dari yang tertulis dalam naskah.
Azhar tampak bermain dalam zona nyaman dalam menghadirkan jumpscare, meski memang adegan thriller dari para setan bisa diacungi jempol. Cara Azhar dalam film ini membuat penonton mudah menebak apa yang akan terjadi di layar.
Hal itu juga tak bisa terlepas dari peran tata suara yang menurut saya tidak konsisten sepanjang film ini. Ada scoring yang pas untuk sebuah adegan, tapi di adegan yang lain scoring justru merusak mood cerita.
Sebenarnya scoring mengerikan dan kencang tidak melulu mesti hadir dalam menciptakan jumpscare atau membangun mood creepy dan horor.
Kadang, hal yang tak terduga justru hiburan menyenangkan dalam film horor. Bagi saya, horor menantang sineas dan tim kreatifnya untuk berpikir 'jahil', out of the box, dan bermain-main dengan psikis penonton.
Meski begitu, saya mengapresiasi bagaimana Azhar dan tim menampilkan bentuk setan yang sungguh membuat mual dan terlepas dari 'seleb' setan Indonesia, nyonya K dan tuan P.
Azhar juga sungguh berani menampilkan adegan thriller yang saya bilang cukup sadis. Belum lagi tim rias dan prostetik yang jelas bekerja keras mewujudkan imaji muka melepuh hingga merobek kulit yang bikin bergidik.
Selain itu, hal lain yang saya anggap disayangkan dari film ini adalah penampilan menawan dari para aktornya ternyata tak banyak membantu mendongkrak film ini.
Teuku Rifnu tak perlu diragukan lagi dalam berakting, apalagi kalau perannya antagonis atau sosok yang kejam. Teuku Rifnu dan Tyo Pakusadewo masuk top of mind saya bila membahas soal aktor piawai peran bad guy.
Rifnu sungguh menjadi pusat gejolak emosi penonton sepertiga awal film ini berjalan. Penampilannya terbilang mulus membawakan sosok Suyatno yang 'gelap', misterius, hingga bernuansa jahat.