“Srett...’ sabetan arit merobek lengan pria bertubuh kekar yang mencoba menghalau musuhnya dengan tangan kirinya.
“Bukkk...” tendangan pria kekar itu balik menghajar punggung si penyabet, pemuda tanggung yang tubuhnya tak lebih besar dari pria itu.
Pemuda itu tersungkur lalu menoleh dengan wajah garang. Giginya gemeratakan, jari-jarinya mencengkeram tanah. Ia begitu kesetanan melihat lawannya. Nafasnya kian cepat tak teratur. Dalam hitungan detik tubuhnya bangkit diiringi sebuah tendangan maut ke arah pria yang mengaduh memegangi lengannya yang berlumuran darah itu.
“Bukkk..” tendangannya menghempas pria kekar itu ke gerobak dorong yang ditinggalkan pemiliknya karena ketakutan melihat perkelahian mereka.
Pemuda itu berdiri menunggu lawannya bangkit sambil sesekali melap keringat yang mengucur di wajahnya. Aritnya siap melayang sewaktu-waktu. Namun sedetik, semenit, dua menit menunggu, tak ada tanda-tanda, tak ada gerakan. Ia tampak lega. Mungkin lawannya itu sudah mati atau sekedar pingsan. Tak peduli, persetan, mati pun lebih baik.
Pemuda itu akhirnya membalikkan badan dan berlalu meninggalkan pria itu. Tak berapa lama suara sirene terdengar. Polisi datang bersama si pemilik gerobak. Terlambat, pria itu sudah terkapar sementara si pemuda sudah lenyap entah kemana.
###
“Mi ayamnya satu, Bang!”
“Dari mana, Man?” tanya Bang Somad, pemilik warung.
“Dari pasar” jawab pemuda itu singkat sambil menggigit kerupuk di tangannya. Bang Somad memandangi pemuda itu dari ujung kaki sampai kepala. Terlihat cipratan darah di sana-sini.
“Habis berkelahi lagi, ya? badan kamu kok berantakan begitu?”. Tanyanya penasaran.
Ditanya begitu, pemuda itu tersenyum kecut, tetap dengan wajahnya yang dingin, pemuda temperamental.
“Pake nanya lagi, mau dapat duit dari mana kalau nggak berantem, Bang”
“Ckckck Man, Man...tobat sedikit kenapa, cuti dulu nggak bisa ya” jawab Bang Somad enteng. Pemuda itu nyengir mendengarkan lelucon itu.
“Ngaco bener Abang ini, saya ini preman bukan pekerja kantoran, ada-ada aja. Cepetan , Bang, perut saya lapar!!” suaranya meninggi. Dilemparkannya separuh kerupuk di tangannya. Demi mendengar bentakkan itu, Bang Somad terburu-buru menyuguhkan pesanan preman langganannya itu. Tak mau jadi sasaran amukannya.
Usai makan, Jiman, preman muda itu, bergegas menuju ke bangsal, tempat mangkalnya bersama sesama preman lainnya yang sealiran, tepatnya satu bos. Sudah tiga tahun ini, selama ia menjadi preman pasar, waktu malamnya dihabiskan di sana. Bangsal itu, ruangan lebar di belakang terminal, adalah tempat yang paling nyaman baginya. Tempat paling tepat untuk meluapkan amarah juga kesenangannya, setelah gagal menunaikan tugas atau sebaliknya, berhasil melumpuhkan lawan.
Bangsal itu tak pernah sepi dengan judi dan pesta minuman keras, bahkan di belakangnya tersedia bilik bagi mereka yang membawa pasangan wanita, perempuan nakal di sekitar pasar. Jika tak ada perempuanyang bisa mereka sewa, waria pun jadi, bayaran jauh lebih murah. Tapi Jiman termasuk preman yang pilih-pilih, ia lebih baik mundur daripada ditemani waria.
Mengasyikan. Satu kata untuk bangsal itu. Ya, dimana pun preman-preman itu hanya mencari keasyikan, apapun bentuknya. Bahkan keasyikan yang menurut pandangan manusia normal adalah hal yang keji dan hina, bagi mereka asal asyik semua patut dicoba.
###
Langkahnya lesu tak bersemangat. Jalannya gontai tak setegap biasanya. Pikirannya melayang-layang, padahal di bangsal nanti ia akan mendapat bayaran atas keberhasilannya magrib tadi, menghabisi preman suruhan pedagang emas yang berseberangan dengan klien bosnya, pedagang emas lainnya di pasar itu, sama-sama pedagang emas, yang sedang bersaing tentunya.
Entah kenapa, hatinya tak tenang sama sekali, padahal bayaran itu lebih dari cukup. Dengan uang itu ia bisa menyewa perempuan cantik malam ini, juga tentunya menghabiskan berbotol-botol minuman keras di bangsal, kalau mau ia juga bisa bertaruh di meja judi. Ah, tapi semua terasa membosankan. Lalu apa lagi yang ia inginkan? bukankah setiap malam ia bersenang-senang dengan cara demikian? bukankah ia tak pernah merasa bosan sama sekali dan justru ingin mengulangi permainan yang sama malam berikutnya dengan menerima tawaran dari bosnya agar mendapat bayaran? lalu apa yang mengacaukan pikirannya? apakah ia ingin berganti profesi? mau jadi apa lagi dia? bukankah ia sudah berpengalaman menjadi preman? ia sudah dipercaya oleh bosnya? sudah menghabisi puluhan lawan? lagipula ia tidak mempunyai keahlian lain, menyanyi? berdagang? menyemir sepatu? semua berpenghasilan pas-pasan katanya dulu. Lalu apa? Jiman sendiri belum mampu menjawab pertanyaan itu sampai akhirnya ia tiba di pintu bangsal. Dari luar tampak pemandangan yang seperti biasa dilihatnya pada malam-malam sebelumnya, gigi-gigi kuning preman-preman beringas yang muncul di sela gelegar tawa mereka, desahan-desahan perempuan sewaaan, juga suara tegukan minuman keras, semua tak ada yang menyenangkan di hati Jiman. Ia memilih berbalik meninggalkan bangsal mengikuti langkahnya yang tak pernah ia tahu akan kemana.
Langkah kakinya seperti langkah prajurit tanpa komando panglima perang. Berjalan sendiri semaunya. Telah berapa lorong ditelusurinya, tak tahu akan berhenti di mana. Sesekali ada orang yang mengenalinya, mereka menundukkan wajah takut tersenggol tinjunya. Juga yang tak mengenalinya, sama sekali tak memedulikannya. Siapa dia tak ada yang tahu dan peduli. Siapa juga yang mau peduli dengan pemuda lusuh berbau kurang sedap seperti dirinya. Lagipula banyak pejalan kaki lain yang lebih enak dilihat daripada Jiman. Ah, jangankan orang lain, Jiman pun tak pernah peduli siapa ia sekarang. Ia berjalan dengan kepala kosongnya, juga hatinya. Tak ada yang ingin dihantamnya atau dibunuhnya. Ia berjalan bukan untuk mencari musuh atau lawan. Ia sedang berjalan untuk ...untuk apa Jiman pun bingung.
###
Tibalah ia di sebuah gang kecil. Di ujung gang itu ada sebuah mesjid. Jiman terusik dengan suara imam yang sedang membacakan ayat-ayat qur’an. Ada yang tak biasa. Diliriknya jam tangannya. “ Sudah setengah sembilan rupanya, biasanya mesjid sudah kosong” katanya dalam hati.
Ah, peduli amat dengan mesjid itu. Jiman malanjutkan langkahnya dengan pandangan lurus, tak sedikitpun tertarik dengan susana mesjid yang ramai itu, jangankan singgah, menoleh pun tidak. Semakin mendekati mesjid, lantunan ayat-ayat quran itu semakin jelas terdengar di telinganya. Bahkan ada satu dua kalimat yang akrab, bismillah dan Ya ayyuhalladziina aamanuu. Sering ia dengar dari pengeras mesjid dekat terminal. Apa maksudnya, Jiman tak tahu.
Anak-anak kecil di serambi itu berlari-larian, membuat gaduh riuh rendah. Seorang jamaah keluar menyuruh mereka diam. Suaranya menarik perhatian Jiman. Iapun menoleh. Tampak olehnya pemandangan yang belum pernah dilihatnya.
Untuk beberapa saat ia berhenti berjalan, beberapa langkah dari mesjid itu. Dari kegelapan diamatinya mesjid itu. Mesjid itu luas dan dipenuhi oleh jamaah. Warna putih terhelat dari shaf para wanita. Mereka bergerak bersama-sama, berdiri, membungkuk, lalu meletakkan kepalanya di lantai. Entah apa nama gerakkan itu, Jiman tak tahu juga.
Jiman mendengar suara “Aamin” dari jamaah laki-laki yang terdengar serentak. Jiwa jiman tersentak. Suara itu menusuk kalbunya. Menggelegar, menghempas apapun yang dipikirkannya tentang dunia.
Jiman tetap di tempatnya hingga para jamaah membubarkan diri. Laki-laki, wanita, tua, muda tampak berseri-seri meninggalkan mesjid. Senyum-senyum manis tersungging di bibir mereka. Anak-anak kecil berceloteh dalam genggaman erat ayah dan ibunya.
Diantara para jamaah itu, ia tertarik pada lelaki tua yang berjalan terbungkuk-bungkuk pada barisan paling belakang. Laki-laki itu sudah renta. Jalannya perlahan dan tak tegap. Akhirnya ia ditinggalkan jamaah lain yang berjalan lebih cepat. Jiman tertegun memandangi lelaki tua itu. Apapula yang dicarinya di mesjid itu? bukankah lebih baik kalau ia tidur saja di rumah? memangnya ia mendapat uang di mesjid itu?
Entah apa yang ada di kepala Jiman, tiba-tiba langkahnya membawanya mendekati mesjid itu. Sesampainya di serambi mesjid itu, ia berhenti. Mesjid itu luas meskipun sederhana. Jiman melepas sendalnya dan mencoba memasuki mesjid itu. Ia mulai terpana dengan ukiran ayat-ayat suci qur’an yang terpajang mewah di dinding mesjid. Matanya asyik memandanginya. Tiba-tiba ia tergaget mendengar suara dari dalam mesjid. Ia mencoba memasuki pintu utama mesjid yang terbuka lebar. Di dalam mesjid itu ada seorang pria yang terduduk di atas sajadahnya. Terdengar bacaan-bacaan zikiryang tidak dikenali Jiman.
Jiman penasaran dan mendekati pria itu. Demi melihat sebuah bayangan, pria itu berhenti dan menoleh kebelakang. Pria itu tersenyum melihat Jiman. Jiman terkagum dengan senyum manis yang indah dan ikhlas itu. Tak pernah sebelumnya ia mendapat senyum seperti itu dari teman-temannya. Senyum bersahaja dan penuh cinta. Ya, cinta, yang sedari kecil belum pernah didapatkannya. Cinta, yang tidak ada sama sekali dalam hatinya.
Jiman balik tersenyum. Ia pun sadar bahwa tak pernah sebelumnya ia tersenyum seperti demikian. Selama ini bahkan tak pernah ia tersenyum, paling senyum kecut atau tawa tergelak, mengejek lawan.
Hati Jiman tergetar. Suasana menjadi dingin dan sejuk. Bukan karena AC mesjid tapi sejuk yang datang dari dalam jiwanya. Entah dari mana asalnya. Laki-laki itu menjabat tangan Jiman dan menyalaminya “ Assalamualaikum, Shalat tarawihnya sudah selesai, kenapa belum pulang? mau berdzikir, Nak?”.
Jiman tak menjawab. Ia tertegun melihat seorang yang baginya malaikat itu. Tak pernah sebelumnya ia dijabat sehangat itu, yang ada hanya tinjuan. Tak pernah pula ia disalami, yang ada dicaci. Dimanakah ia sekarang?. Hati Jiman laksana melayang ke dalam dunia yang teduh, dunia yang tak pernah dipijaknya sebelumnya. Lelaki itu kemudian mengajaknya bercakap-cakap dari hal sepele sampai hal-ihwal kehidupan Jiman. Jiman menjawab pendek-pendek seperlunya.
###
Jamaah shalat tarawih itu berdiri mememenuhi shaf-shaf yang terjajar rapi. Mereka bergerak bersama-sama di bawah komando imam. Serentak penuh dengan kekhusu’an. Jiwa-jiwa yang merindu surga bersatu di bawah panji Illahi, memuji keesaan-Nya.
Di atas lantai tanpa sajadah, seorang pemuda bersujud merendahkan jiwanya di hadapan sang Illah. Disesalinya seluruh dosa yang dilakukannya hampir sepanjang hidupnya sampai suatu malam hatinya terketuk.
Air matanya meleleh dari kedua sudut matanya. Ia berharap air mata itu bisa melunturkan dosa-dosanya yang telah menggunung, tertimbun dalam seluruh jiwanya. Hatinya sengkal menahan kepedihan yang dirasakannya. Hidupnya yang tak pernah mengenal cinta yang berisi hanya kekejaman dan penindasan, terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Jiman, tersenyum mendapati dirinya berada di antara para jamaah perindu surga. Mensyukuri hidayah yang tak pernah disangkanya. “Terimakasih atas hidayah-Mu Allah, jika tidak, malam ini aku pasti sedang minum atau berjudi” gumamnya dalam hati.
The End
Kendari, Juli 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H