Mohon tunggu...
Jihantary
Jihantary Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

an ordinary girl teko ndeso. Mahasisiwi. Suka membaca, denger musik, mancing dan menulis. Terimakasih atas kunjungannya.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ujian dan Doa

9 Desember 2014   14:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:42 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu begitu terik. Mentari dengan angkuhnya menghujamkan sinar yang membakar, menggeliatkan seluruh permukaan bumi karena panasnya. Bertambah panas karena tak ada segumpalpun awan yang mampu menghalau sebab mereka tersingkir dihempas angin kering yang bertiup di musim kemarau yang tak kunjung usai.

Di bawah terik mentari yang menyengat itu, Haidar tetap setia mengayunkan langkahnya menyusuri lorong menuju jalan raya yang berada di depan perkampungan tempat ia dan keluarganya tinggal. Tak dihiraukannya peluh yang menetes kian deras membasahi dahi dan sekujur tubuhnya, hingga nampak baju yang dikenakannya mulai basah dan nyaris lengket di badannya. Namun ia tak pernah mengeluh, semangatnya yang tinggi mampu mengalahkan kesulitan itu. Cita- cita di masa depannya, harapan untuk menggapai mimpinya, tak pernah lepas dan selalu terbayang di pelupuk matanya. Impian itulah yang membuatnya tetap bersemangat yang kini tergambar dari langkahnya yang tegas dan mantap, hingga serangga yang lalu tepat di bawah sepatunya pun mati sekonyong-konyong.

Langkahnyapun berhenti setelah ia sampai di depan lorong. Di hadapannya kini adalah jalan raya dengan berbagai macam kendaraan yang lalu lalang dengan tujuan masing-masing. Mesin kendaraan yang bising, teriakan para sopir angkot, para penjual ikan dan jajanan keliling serta asap knalpot menari- nari di udara, beradu bak konser musik. Bedanyayang ini tak enak didengar dan tak sedap dipandang mata. Sebaliknya membuat alis mengeryit dan kepala pusing karena stress. Haidar melambaikan tangannya.

Srettt”. Angkot dengan warna hijau muda jurusan Kampus Baru langsung menghampirinya. Di dalamnya sudah penuh dengan penumpang yang duduk berhimpitan. Bau mesin mobil, asap rokok, dan aroma ketiak bertebaran di mana-mana.

# # # #

Setibanya di kampus, senyum teman-temannya menyambut kedatangannya. Senyum yang membuatnya betah kuliah meski banyak masalah. Senyum hangat yang mampu meluluhkan bekunya hati. Senyum manis yang mampu mengalahkan pahitnya hidup. Senyum ramah yang mampu menggugurkan amarah. Senyum ikhlas yang melukiskan persaudaraan tanpa batas.

“Assalamu’alaikum ” ,Haidar menyapa teman-temannya yang tiba terlebih dahulu dan menunggunya di gazebo.

“Wa’alaikumsalam” balas Royan, Indra, dan Adin serentak.

Haidar duduk di salah satu tempat duduk yang tersedia seraya melepaskan tas punggung yang sedari tadi membebaninya, sementara tangan kanannya mengusap peluh yang membasahi wajahnya.

“Wah, habis nyebur di mana kamu, kok basah gitu?” tanya Royan sambil menggerakkan jari-jarinya di atas tombol-tombol telpon genggamnya. Sohib Haidar yang satu ini memang paling rajin sms-an.

“Oh ini mah keringat, habis panas benget sih, di lorong tadi jalan kaki, mana angkotnya juga sesak, mandi keringat jadinya…” terang Haidar.

Tak berapa lama kuliah pun dimulai dan seperti biasa usai kuliah semua mahasiswa sibuk berdiskusi dengan teman-teman mereka untuk menyelesaikan tugas yang mereka dapatkan hari ini.

“Haidar, gimana kalau malam ini kamu kerja tugas di kosku aja, kebetulan ada temen yang nitip laptop di kamar…” usul Royan.

“Boleh, habis isya ya aku datang” jawab Haidar riang.

Usai kuliah Haidar menyempatkan diri shalat berjamaah di mushola fakultas lalu bergegas menuju pasar.

Mata pencaharian keluarga Haidar adalah berdagang pakaian. Semenjak ayahnya meninggal akibat kecelakaan, ibunya yang menggantikan tanggung jawab untuk menjadi tulang punggung keluarga, mencari nafkah bagi anak-anaknya, Haidar dan ketiga adiknya yang semuanya bersekolah. Haidar hanya dapat membantu sebisanya. Sepulang dari kampus ia menyempatkan diri menemani ibunya berjualan. Lumayan, dari hasil berdagang, kebutuhan hidup mereka bisa terpenuhi, meskipun hanya cukup. Dari dagangan itulah keluarga Haidar menggantungkan hidup, memutar modal dan mengharapkan sedikit untung darinya,kalaupun bersisa mereka berharap dapat menyisihkan sedikit untuk ditabung sebagai persiapan keperluan di masa datang.

# # # #

“Assalamualaikum”

Wa’alaikum salam, sudah selesai, Dar kuliahnya?”

Sudah,Bu, kebetulan cuma satu mata kuliah hari ini. Gimana,Bu, sudah laku banyak?” tanya Haidar. Tangannya sibuk menyeka keringat yang membasahi dahinya. Cuaca saat ini memang panas, apalagi kiosnya terbuat dari seng tanpa flapon. Debu-debu yang beterbangan terseret oleh kaki para pengunjung pasar yang berjubel membuat suasana semakin sesak.

“Alhamdulillah, lumayan ada beberapa yang terjual” jawab Ibunya lembut. Memang salah satu hal yang ia sukai dari ibunya adalah rasa syukur yang beliau miliki. Meski sedikit yang didapatkannya selalu ia syukuri, apalagi banyak.

Yah syukurlah, mudah-mudahan hari ini banyak yang laku” harap Haidar sambil menenggak air mineral untuk menghilangkan dahaga yang sedari tadi membakar kerongkongannya.

Mudah-mudahan, supaya kamu dan adikmu bisa sekolah, bisa beli buku. Lagipula kamu punya rencana beli laptopkan?. Begini, Ibu ada simpanan, ditambah uang simpananmu, nambah sedikit lagi sudah bisa beli,Dar, kira-kira keuntungan kita minggu ini sudah mencukupi…”

Tapi buat modal dagangan apa, Bu?” Haidar nampak ragu.

Sudahlah, selama kita masih dagang insya Allah ada” ibunya meyakinkan.

Keriangan terlukis di senyumnya yang penuh harapan besar untuk kebahagiaan anaknya. Haidar memandangi wajah ibunya, betapa ia mengagumi sosok yang kini duduk diihadapannya. Sosok wanita yang tetap tegar dan ikhlas menjalani hidup meski di usianya yang tak lagi muda.Wajahnya mulai tampak keriput dengan guratan disana-sini sisa dari kecantikan di masa mudanya yang terkikis oleh kerasnya kehidupan. Rambutnya mulai memutih hampir mengalahkan rambut hitamnya. Kerja kerasnya semakin terlihat dari otot-ototnya yang menyembul ke permukaan dan kulit telapak tangannya yang kasar.Mungkin karena Kadang-kadang ibunya juga bekerja sambilan sebagai pemecah batu saat liburan semester selagiHaidar yang menggantikannya berjualan di pasar.

Matanya yang sendu memancarkan kedamaian yang dalam.Tatapannya mampu mengantarkan siapa saja ke tepi danau hati yang sejuk dan indah dengan airnya yang dingin dan angin yang sepoi-sepoi. Haidar sungguh mengagumi ibunya, kalau saja ia bukan laki-laki mungkin air matanya sudah menetes, tapi ia hanya mampu menahan kelu dan haru dalam relung hatinya yang terdalam.

# # # #

Malam ini Haidar memenuhi tawaran Royan mengerjakan tugas di kos-kosannya. Syukurlah ada kemudahan yang didapatkan dari bantuan sahabatnya itu.

“Assalamualaikum”

Waalaikumsalam” Royan membalas dari dalam kamarnya.

“Masuk,Dar” seraya membukakan pintu.

“Mari kita kerja, kamu pakai saja laptop temanku,aku pake punyaku sendiri”

Royan mempersilahkan Haidar’

“Okelah,Bro, thanks

Merekapun asyik mengerjakan tugas masing- masing. Sekitar dua puluhan menit mengerjakan tugas tiba-tiba handphoneHaidar berdering.

Hallo, Dar ke Pasar Anyar sekarang.Buruan!tampak suara laki-laki dengan terburu-buru, terdengar sangat panik. Haidar kebingungan mendengarnya.

Hallo ini siapa dan maksud Bapak apa?...” kebetulan nomor yang dipakai juga nomor baru.

“Pokoknya buruanke sini,ada kebakaran!”

Tut..tut..tut…” telpon terputus.

Seketika jantung Haidar berdegup kencang. Kepanikan kini menguasai dirinya. Seluruh tubuhnya gemetar. Keringat bercucuran membasahi tubuhnya.

“Ada apa ,Dar? Tanya Royan penasaran.

Pppa….sar Anyar terbakar, aku harus ke sana sekarangjawabnya gugup.

“Apa… terbakar! Ayo kita kesana sekarang!. Kita harus cepat sebelum kiosmu terbakar.”

Keduanya kini sama-sama panik. Haidar kesulitan mematikan laptop. Jari – jarinya yang gemetar membuat kursor tak pernah berada tepat di tempat yang diinginkannya. Ia berusaha mengendalikan dirinya. Ditariknya napas dalam-dalam untuk mengurangi kepanikannya.

Berhasil. Laptop mati. Secepat kilat mereka keluar dari kamar kos. Kepanikan yang tak terkendali menggerakkan langkah mereka berlari kian cepat dan semakin cepat. Tak peduli apapun yang ada di hadapan mereka. Sesekali kaki keduanya tersandung benda padat atau terperosok ke dalam lubang yang tak terlihat oleh karena gelapnya malam.

Haidar menghentikan sebuah angkot. Lalu dengan cepat mereka masuk. Dari balik jendela terlihat asap hitam yang membumbung tinggi di udara dan bayangan kobaran api yang menyala-nyala. Sementara suara ledakan dari benda-benda yang terbakar acap kali terdengar.

Perasaan Haidar makin kalut saja. Ia menggerakkan jari-jemarinya berulang-ulang di atas pahanya, sesekali ditekuk-tekuknya, kemudian dipindahkan lagi ke dagunya, lalu ditutupkan kemulutnya. Ya, dia terlihat sangat panik.

Ya Allah, bagaimana dengan kios kami, satu-satunya sumber kehidupan kami.” ungkapnya dalam hati.

Kita berdoa saja mudah-mudahan kiosmu tidak terbakar” Royan mencoba memberi harapan kepada temannya yang kini tampak begitu gusar.

Kendaraan tiba-tiba membludak memadati jalan. Datang dari segala penjuru. Suara klakson bersahut- sahutan memekakkan telinga. Haidar makin kalut saja. Angkot yang ditumpanginya kini hanya dapat berjalan merayap.

Waduh , kalau begini caranya kapan kita nyampe, kita naik ojek aja yuk!” gerutu Haidar.

Okelah” Royan menyetujui.

Haidar mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya lalu memberikannya kepada pak sopir. Dengan cepat mereka melompat turun. Ojek adalah pilihan yang paling tepat dalam kondisi macet seperti ini. Lebih praktis karena bisa menerobos kemacetan melalui sela-sela mobil yang merayap bak konvoi semut itu atau melalui jalan pintas, lorong-lorong tikus di perkampungan.

# # # #

Haidar terpaku mendapati pemandangan yang terhelat di hadapannya. Raganya laksana melayang.Bumi seakan berhenti berputar lalu langit runtuh , jatuh berdentum menimpa dirinya. Nafasnya sesak sementara keringatnya membasahi sekujur tubuhnya. Ia sama sekali tak percaya kalau kios yang selama ini jadi harapan hidupnya, kini ludes dilahap si jago merah. Tak sepotongpun kain yang sempat diselamatkan.

Ya Allah!, rintihnya dalam hati.

Prakk, sebatang balok panjang hampir saja mengenai bahu kirinya. Beruntung dengan gerakan refleksnya ia masih mampu menghindar. Royan menarik Haidar ke tempat yang lebih aman.

“Aku turut bersedih terhadap apa yang menimpamu sekarang, tapi apa boleh buat, ini sudah jadi ketentuan-Nya, mudah-mudahan Allah menyediakan ganti yang lebih baik untukmu, Kawan.” Royan berusaha menyabarkan kawannya yang nampak kehilangan harapan.

“Yah, apa boleh buat, tak ada daya dan upaya melainkan Dia. Mudah-mudahan aku bisa petik hikmahnya”.

Mereka kemudian memutuskan untuk membantu yang lain menyelamatkan dagangan mereka. Kayu-kayu yang terbakar berjatuhan dan sesekali mengenai mereka. Berbahaya memang, tapi tak ada yang peduli. Semuanya sudah nekad. Mereka bergerak laksana pasukan rela mati yang tak peduli terhadap bahaya yang menantang didepan mata. Apapun diraih untuk memadamkan api. Tapi sayang, angin bertiup kencang membuat api susah dipadamkan. Pemadam kebakaran juga tak kunjung datang. Akhirnya hampir seluruh kios terbakar . Para pedagang hanya bisa menangis meratapinya.

# # # #

Malam ini keluarga Haidar tak dapat tidur. Peristiwa beberapa saat yang lalu benar-benar membuat mereka syok. Hati mereka perih ibarat disayat pisau. Sakit sekali rasanya. Api yang menyala-nyala masih jelas terbayang menari-nari di depan mata, melahap semua harapan mereka.

Sebegini kejamkah kehidupan. Betapa terjal jalan menuju impian. Terlampau tinggikah hingga tak mungkin digapai. Sudah di tengah jalan,tergelincir pula,jatuh hingga di dasar.

Haidar tak sanggup lagi menyembunyikan kesedihannya. Air matanya tak mampu lagi dibendungnya. Ia dan adiknya menangis terisak di pelukan ibunya.

“Anak-anakku, ini sudah jadi kehendak-Nya. Dia punya kuasa. Jika Ia menghendaki sesuatu tidak akan ada yang menghalangi-Nya. Kita musti ikhlaskan. Ini hanyalah ujian buat kita. Allah akan memberikan gantinya di waktu dan tempat yang berbeda. Ketahuilah anak-anakku, Allah punya rencana di balik setiap peristiwa”

Haidar melepaskan pelukannya, diusapnya air mata yang membasahi pipinya dengan kedua telapak tangannya yang penuh luka akibat goresan benda tajam saat membantu menyelamatkan barang – barang dagangan pemilik kios di Pasar Anyar beberapa saat lalu.

Tapi, Bu, darimana kita dapat uang? Barang dagangan kita sudah habis tak bersisa”, ungkap adik sulung Haidar.

Ibunya kini terdiam, pandangannya nanar ke langit-langit rumah. Sepertinya ia mencoba mencari jawaban yang tersembunyi di lipatan-lipatan pikirannya. Kiranya ada jawaban yang bisa sedikit menghibur anaknya.

Iya, Kakak benar,” tambah si bungsu.

Untuk beberapa saat ibunya masih membisu. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya. Rencana apa gerangan yang bisa membuat mereka bisa bertahan hidup. Suasana seketika hening. Hanya detik jarum jam dan suara jangkrik yang terdengar.

Haidar menundukkan kepalanya. Pandangannya kosong ke lantai. Matanya coba melukiskan kesedihan yang dirasakannya. Ia bisa merasakan apa yang ada di benak Ibunya.

Kalian jangan khawatir, Ibu akan cari usaha lain. Mudah-mudahan Allah memberi kita jalan. Kita berdoa saja ya. Ngomong-ngomong Ibu pernah dengar kalau Pak Sabar tetangga kita butuh tukang cuci. Besok Ibu akan menemuinya, mudah-mudahan Ibu bisa kerja di sana”

Suara Ibunya terdengar ringan. Keikhlasan terpancar dari warna mukanya. Sungguh wanita yang tegar.

Hati Haidar terenyuh. Remuk. Perih. Setetes lagi air mata membasahi pipinya. Tak sanggup lagi membayangkan penderitaan ibunya mulai besok pagi. Ya, besok pagi ibunya akan bekerja lebih berat. Pontang-panting mencari penghasilan di usianya yang mulai senja.

“ Api….oh api. Jika saja kau tak datang malam ini. Mungkin kami masih punya harapan”

Malam semakin larut. Udara semakin dingin. bertambah dingin hingga mampu membekukan harapan mereka. Mereka hanya bisa menunggu seberkas sinar sang fajar yang akan melelehkan kebekuan itu, membawa kabar gembira untuk mereka.

Haidar tak dapat memejamkan matanya. Pikirannya kalut. Ia bangkit dari pembaringannya dan menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Dalam segala kerendahan hati ia bersujud khusyuk di atas sajadahnya. Baginya tak ada penolong selain Allah dan sahabat yang mengerti dirinya selain-Nya.

“ Ya Allah aku berserah diri terhadap segala takdirmu. Jika ujian ini pantas kami terima maka ridhoilah kami dan beri kami kekuatan untuk menjalaninya. Dan jika Engkau berkenan maka berilah kami kemudahan”.

###

Esok harinya saat berjalan di depan kampus, Haidar bertemu dengan seorang pria yang mobilnya mogok. Dahulu Haidar bersekolah di STM. Pengalamannya itu membuatnya tertarik untuk sekedar membantu pria itu. Berkat kelihaian tangannya akhirnya mobil itu dapat dinyalakan kembali.

Mereka akhirnya berkenalan dan tak disangka pria itu tertarik dengan kemampuan Haidar lalu memperkenalkannya dengan seorang temannya yang memiliki usaha bengkel mobil. Haidar dijanjikan untuk dapat bekerja paruh waktu di bengkel temannya itu. Haidar pun tak dapat menahan kebahagiaannya.

“ Terimakasih, Pak. Akhirnya saya bisa bekerja. Terimakasih sekali lagi”.

“ Iya, sama-sama. Berterimakasihlah pada Allah yang memberimu keahlian itu sehingga kamu bisa menjadi pemuda yang produktif, yang terampil” kata pria itu dengan bijak.

###

“ Alhamdulillah, Ya Allah, sungguh kau tak akan memberi ujian pada hamba-Mu di luar batas kemampuannya” bisik Haidar dalam hati.

THE END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun