Malam itu awan masih hitam seperti malam-malam sebelumnya . Derasnya hujan makin bertambah. Tak ada bintang yang mengintip dari sela awan. Hanya angin yang berisik mengusik dedaunan. Hembusannya menelisik di sela ventilasi, mendinginkan ruangan tempatku berdiri menatap pemandangan di luar jendela.
Pertokoan di sekeliling tampak sepi. Hanya beberapa pengunjung mengenakan mantel atau jas hujan. Rata-rata bersedekap karena dingin yang menyergap. Mereka datang dan pergi di toko roti tepat di hadapanku. Aku meneliti mereka satu-persatu. Kusempatkan mataku mengamati pengunjung di toko sebelah kanannya, sebuah toko ATK, dan di sebelah kirinya, warung makan padang. Juga orang-orang di jalanan yang tak jelas darimana dan akan kemana. Kuperhatikan mereka dengan teliti dan penuh pengharapan.
Aku mencari sesosok gadis berumur 26 tahun dengan tinggi badan kurang lebih 156 cm. Ia suka mengenakan sweater pink dan jika hujan begini ia pasti mengenakan jaket wol warna kuning pemberian ayahnya.
Kemana-mana ia tak pernah sendiri, selalu ditemani tas coklat mungil. Di tas itu pasti ada 5 buah jepit rambut, merah, kuning, biru, pink dan hijau. Jika ia bosan ia langsung menggantinya meski di dalam angkutan umum. Asalkan ada cermin mungil yang selalu ia bawa di dalam tasnya, urusan rambut dan wajah semua beres. Penampilannya memang supel tapi tetap selalu cantik dengan wajahnya yang cerah dan senyum manisnya.
Ya, senyum manis yang lama kurindukan darinya. Yang terakhir kulihat tiga bulan yang lalu, saat sebuah percakapan harus berakhir dengan tangis dan kepergian salah satu dari kami.
***
Tiga bulan yang lalu di sebuah reuni alumni SMA kami. Seperti biasa aku dan dia berbaur dengan teman yang lain, bernostalgia mengenang masa-masa indah bersama teman-teman yang kini sudah menempuh hidupnya masing-masing. Kami sangat gembira dapat berkumpul kembali di malam bahagia itu.
Di tengah acara yang mulai meriah. Tanpa disangka, senior kami, Kak Fredi menghampiriku dan dengan terharu ia tiba-tiba berkata kepadaku, “Gea, maafkan jika dulu aku pernah menyakitimu, aku hanya ingin memilikimu. Dulu aku sangat menyukaimu, sungguh aku tak ingin berniat untuk mempermainkanmu”, katanya dengan sangat menyesal.
“Sudahlah, Fred, jangan bahas itu lagi. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Dan lupakanlah..anggap saja tidak pernah ada kenangan itu”..
Pada saat itu, Winda tengah asyik berfoto ria dengan kawan-kawan yang lain. Ternyata ia sudah berdiri di belakangku tanpa kusadari, tepat saat Fredi meminta maaf. Baik aku dan Fredi tidak menyadari kedatangannya.
Sejurus kemudian, Winda menggelandangku ke luar ruangan. Fredi bingung bukan main, tapi aku mencegahnya mengikuti kami dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Gea, apa maksud kak Fredi tadi? Tolong jelaskan padaku! Ada apa kau dengan dia waktu itu?”, Winda panik dan kecewa. Ia menatapku tajam.
Aku diam dan tak tahu harus berkata apa. Winda terus memaksaku untuk bicara. Akhirnya kukuatkan hatiku untuk mengungkapkan semuanya.
“Jadi, waktu itu, Fredi menolakmu bukan karena ingin fokus ujian dan alasan lain yang ia katakan, tapi…..”
“Tapi kenapa, Gea? Jawab Gea!ayo lanjutkan, plis!” Winda terus memohon
“Itu ka…kare…na dia…sudah lebih dulu menembakku, Winda,”. Muka Winda memerah. Airmatanya turun semakin deras. Ia benar-benar marah kali ini.
“Kau keterlaluan, Gea!. Selama ini kau bersandiwara dengannya di belakangku. Kau sudah mempermainkan aku!”. Gea terisak. Aku mencoba menenangkannya tapi dia terus mengelak.
“Dengar dulu Winda!. Maafkan aku. Mengertilah. Ini sangat sulit bagiku. Kau perlu tahu saat itu aku juga menolak dia karena aku tak mau persahabatan kita rusak. Aku juga tak mau menceritakan ini semua karena aku pikir itu akan menyakitimu. Lalu akhirnya Fredi membuat alasan itudan kusuruh dia menjauhi kita. Tolong,Winda. Mengertilah!”
Aku berusaha meyakinkan Winda namun dia begitu kecewa dan tak mau lagi mendengarkanku. Akhirnya kata-kata terakhirnya yang sangat menyakitkan bagiku, terucap dari bibirnya.
“Mulai sekarang anggap saja kita tidak pernah kenal. Apalagi bersahabat. Aku akan menjauh dari hidupmu selamanya, Gea”. Ia berlalu dan tak mau menoleh padaku.
“Winda, dengarkan aku, Winda. Jangan seperti itu, Winda!!!”
Aku hanya bisa pasrah menerima keputusan Winda. Aku terima sebagai konsekwensi atas apa yang aku lakukan padanya. Tapi di lubuk hatiku yang terdalam aku sangat menyayanginya dan kulakukan itu semua demi dia walaupun pada akhirnya itu menyakitinya.
***
Sejak malam itu, tak lagi kudengar suaranya, apalagi melihatnya senyum dan tertawa. Ia menghilang entah kemana dan tak pernah lagi menginjakkan kakinya di kamar kosku.
Kuhubungi teman-teman terdekat, katanya ia tak bisa dihubungi. Ku telepon kantor tempat ia bekerja, kata pegawai di sana, dia sudah pindah dari tempat kerjanya. Entah kemana, pegawai itu juga tampaknya menutup-nutupi keberadaan Winda dariku. Dia pasti sudah merencanakannya.
Solusi terakhir yang bisa kulakukan adalah mengirim pesan di emailnya. Aku sangat berharap ia mau membalasnya.
Lewat email itu, aku meminta maaf kepadanya dan kukatakan semua harapanku pada persahabatan yang sudah lama kami jalin, sejak SMA, berawal saat kami sama-sama dipelonco senior-senior koplak di acara Masa Orientasi Siswa. Dengan harap-harap cemas kutunggu balasan darinya. Sehari, dua hari, tiga hari sampai satu minggu, tidak ada balasan.
Hingga suatu pagi aku terkejut melihat email baru. Aku benar-benar bersemangat membukanya. Seperti terbang ke angkasa saat kutahu email itu dari Winda. Dan betapa terkejutnya aku saat membacanya.
“Gea, mengertilah. Hatiku tak bisa dipaksa. Aku tak mungkin bisa tertawa jika hatiku menangis atau sebaliknya. Aku tak bisa menerima semua itu, Gea. Bisakah kamu pahami perasaanku?. Sakitku,kecewaku, mengertikah kamu? Jika kau peduli padaku, tolong jangan mencobamenghubungi aku lagi. Mari kita jalani hidup kita masing-masing tanpa masa lalu itu, tanpa ada persahabatan bernama Gea-Winda”
Aku terpekur dan tenggelam dalam isak tangisku. Aku tak pernah menyangka semua bisa jadi separah ini. Aku benar-benar kehilangan Winda, sahabat terbaikku selama ini. Aku benar-benar menyesali keputusan Winda. “Tak adakah maaf bagiku, Winda?” ratapku dalam hati.
***
Setiap pulang kerja kusempatkan duduk-duduk di beranda sambil menikmati secangkir teh dan kue kering. Jika malam sudah tiba aku terpaksa harus masuk karena nyamuk mengeroyokku. Binatang itu musuh besarku.
Di balik jendela, sesekali aku melongok kalau-kalau ada bayangan Winda di bawah lampu jalan atau di pertokoan depan asrama.
Jika ada langkah kaki aku berharap itu langkah Winda. Langkah Winda yang ringan dengan suara lembut. Dulu, langkah itu sering berhenti di depan pintu. Jika kubuka pintu, senyumannya menyambutku dengan hangat. Tapi di musim hujan ini semua jadi semakin dingin dan nyaris beku. Aku kesepian dan kehilangan. Seperti orang bodoh menunggu ketukan pintu di malam gerimis. Mustahil Winda akan datang membawa sebungkus gorengan atau dua bungkus coklat yang dibelinya di pertokoan sana. Keberadaannya pun entah dimana. Mungkinkah ada mukjizat yang membawanya kemari. Aku berhenti berharap lalu meninggalkan jendela dan menuju ke kamar tidur.
***
Malam ini masih hujan. Langit masih mendung seperti malam-malam sebelumnya. Tapi ruang tamu kosanku lebih hangat dengan cahaya lampu redup.
Di sekeliling ruangan ada balon-balon hiasan. Di atas pintu masuk ada ucapan selamat datang. Taburan bunga terhampar di pintu masuk sampai ke meja tempatku duduk. Di atas meja ada lilin menyala. 90 lilin memenuhi meja. Ada kesan semarak yang menghujam di hati. Ya, kegembiraan atas kedatangan seseorang.
Tak lama kemudian. Ada yang mengetuk pintu. Tuk..tuk..tuk… ketukan itu sangat lembut tapi mampu kutangkap dengan indra pendengaranku yang tajam. Sekejap aku sudah sampai didepan pintu menyambut kedatangan tamuku. Gadis muda berwajah cerah berkulit sawo matang. Senyum manisnya menyembulkan sinar dari gig-gigi putihnya.
Ia memelukku rapat. Ada kerinduan yang selama ini terpendam dan akhirnya kami luapkan dalam kedekatan itu.Aku menggiringnya ke meja. Ia tersenyum sekali lagi.
“ Selamat datang, Winda. Mari kita sambung persahabatan kita yang pernah putus” kataku.
“ Iya, Gea. Aku tak mau hubungan persahabatan yang kita bina selama ini rusak, hanya karena laki-laki. Lagipula aku sudah mengerti maksudmu dan menerima tindakanmu waktu itu. aku bisa merasakan dilema jika aku ada di pihakmu”, terang Winda.
Aku sangat terkesan dengan ucapannya itu. kami tiba-tiba hanyut dalam kasih-sayang persahabatan. Ia tersenyum dan menatapku dengan pandangan yang dalam. Ada kebahagiaan yang terpancar di matanya. Seperti ibu yang menemukan anaknya kembali.
Saat kami berpandangan, tiba-tiba, “Darrrrrrrr!!” gelegar petir memekakkan telinga. Seketika lampu mati dan semua tinggal gelap. Aku terhenyak. Kupandangi sekelilingku. Hampir tak ada yang bisa kukenali selain gelap, kecuali saat kuangkat wajahku melihat ventilasi jendela. Ada seberkas cahaya dari luar. Aku berjalan mendekati jendela dipandu cahaya itu. Kusibak gorden jendela untuk memasukkan cahaya malam dari kilat-kilat kecil yang menyambar.
Di luar sana ternyata masih hujan, walaupun tak sederas tadi. Malam masih dingin dan sepi, sama sebelum aku tertidur. Tak ada siapa-siapa di ruangan ini selain aku. Aku benar-benar merindukan Winda, sampai-sampai aku memimpikannya. $*^*$
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H