Mohon tunggu...
Jihantary
Jihantary Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

an ordinary girl teko ndeso. Mahasisiwi. Suka membaca, denger musik, mancing dan menulis. Terimakasih atas kunjungannya.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humor

Kampungan

11 Februari 2015   16:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:26 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama saya bunga. Itu nama alias. Nama asli dan panjangnya Mawar Melati Sedayana Indah. Itu khusus di kota. Kalau di kampung saya dipanggil Kembang.

Bicara soal kampung adalah pembicaraan yang saya banget, karena banyak yang bilang saya kampungan, yang dalam kamus Oxfordeso disebut Ndesho sementara dalam Ensiklopedia Kampungana disebutChatroe. Istilah kampungan, ndeso atau khatro sebenarnya punya definisi yang sama yaitu keadaan seseorang yang sangat terjepit oleh penghasilan sangat pas-pasan atau bahkan tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan keterbelakangan di setiap aspek kehidupan mereka terutama sandang, pangan, dan rumah tembok.

Meskipun kampungan, saya masih beruntung bisa berteman dengan anak-anak orang kaya atau berada (di atas saya) yang notabene anak-anak beruang (nggak pake kutub). Tetapi bagi mereka itu adalah kesialan karena sekali lagi, saya termasuk kasta sudra yang tidak layak disejajarkan dengan mereka. Meskipun katanya tak ada lagi sistem kasta tapi itu hanya teori, prakteknya masih ada. Buktinya kalau berjalan di tempat umum, karena penampilan saya yang sederhana atau bahasa halusnya (bahasa yang hanya dipakai oleh makhluk halus) ‘jadul’, masih banyak orang-orang yang berpenampilan klimis necis yang memicingkan sebelah matanya. Awalnya saya mengira mereka itu pada kelilipan, namun setelah proses perenungan yang begitu mendalam, kira-kira satu kilometer, saya sadar bahwa mereka menyepelekan saya. Saya memang begitu orangnya, selain miskin, bodoh juga pelupa. Lupa bahwa saya miskin dan bodoh.

Tapi soal miskin atau kampungan itu biasa. Yang penting saya bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini, beberapa teman yang setia, keluarga,buku yang telah menjadi kekasih saya, dan notebook, selingkuhan saya satu-satunya. Itu cukup bagi saya karena di luaran sana mungkin masih banyak saudara-saudara saya (bukan saudara kandung, baca: beda ibu lain bapak) yang lebih menyedihkan daripada saya.

Kalau ada orang yang mengatakan saya kampungan di hadapan saya, saya mesem saja bukan mesum. Seharusnya mereka bangga bertemu atau berteman dengan saya. Itu adalah pengalaman luar binasa yang mungkin tidak akan mereka temui kedua kalinya dalam hidup mereka. Karena di masa mendatang mungkin akan ada tembok besar yang memisahkan orang kaya dan miskin. Setiap orang suatu saat akan dilabelin MISKIN KAYA di jidatnya. Biar gampang nyortirnya. Kalau berteman jadi nggak ketuker-ketuker atau nggak salah pilih teman atau pasangan. Kan jelas labelnya. So, diharapkan tidak ada lagi istilah membeli sapi dalam karung. Karena karungnya nggak bakal muat hehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun