Mohon tunggu...
Jihan Adila Rahmi
Jihan Adila Rahmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fisip univ Airlangga

suka review bacaaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Makan Bergizi Gratis: Antara kurang Riset dan Meremehkan Realitas

13 Januari 2025   16:37 Diperbarui: 14 Januari 2025   01:30 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kritik terhadap MBG juga menyasar ego kebijakan yang cenderung mengabaikan keragaman masyarakat Indonesia. Anak-anak di NTT, misalnya, lebih terbiasa mengkonsumsi jagung dan ubi sebagai sumber karbohidrat utama. Namun, MBG tetap menggunakan menu seragam yang didominasi nasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini lebih fokus pada simbol "makanan bergizi" ala Jawa atau perkotaan daripada menyesuaikan diri dengan kebutuhan lokal.

Risiko Kegagalan dan Implikasinya

Jika tidak segera diperbaiki, program MBG berisiko menimbulkan beberapa masalah serius. Pertama, ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah akan semakin meningkat. Ketika anak-anak yang menjadi target utama program ini tidak mendapatkan manfaat yang dijanjikan, masyarakat akan mempertanyakan kredibilitas pemerintah. Kedua, program ini dapat menjadi pemborosan anggaran. Dengan alokasi Rp71 triliun per tahun, setiap kesalahan dalam pelaksanaan akan berdampak besar pada keuangan negara. Hingga kini, belum ada mekanisme transparan yang menjelaskan bagaimana anggaran ini dikelola, terutama terkait pengawasan kualitas makanan. Ketiga, program ini dapat memperburuk ketimpangan sosial. Daerah-daerah maju seperti Jakarta mungkin mendapatkan kualitas makanan yang lebih baik, sementara daerah tertinggal seperti Papua atau Maluku harus puas dengan makanan yang tidak sesuai standar.

Evaluasi dan Revisi Kebijakan

Program Makan Bergizi Gratis adalah langkah besar yang berpotensi memperbaiki gizi anak-anak Indonesia. Namun, ambisi tanpa riset dan perencanaan yang matang hanya akan menghasilkan kegagalan. Jika pemerintah serius ingin menjadikan MBG sebagai solusi jangka panjang, mereka perlu mendengar kritik, melakukan evaluasi, dan menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Michael Fullan dalam The New Meaning of Educational Change (2001), "Perubahan yang efektif memerlukan pemahaman terhadap konteks dan pelibatan semua pihak yang terkena dampak."

Daftar Pustaka:

  1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2014). Laporan Prevalensi Alergi Susu Sapi di Indonesia.

  2. Media Indonesia. (2024, 26 Juni). Wawancara dengan Dr. Budi Setiabudiawan.

  3. SEANUTS. (2013). The Southeast Asian Nutrition Surveys.

  4. Merdeka.com. (2025, 8 Januari). Laporan Penundaan Distribusi Makan Bergizi Gratis.

  5. Tempo. (2025, 8 Januari). Keluhan Pelaksanaan Program MBG di Berbagai Wilayah.

  6. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
    Lihat Kebijakan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun