Pada awal Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan peluncuran program Makan Siang Bergizi Gratis bagi siswa di seluruh Indonesia, yang bertujuan untuk menanggulangi masalah gizi buruk dan stunting di kalangan anak-anak sekolah. Program ini dipandang sebagai langkah besar dalam memperbaiki gizi anak-anak Indonesia, dengan rencana penyediaan makan siang bergizi untuk lebih dari 80 juta siswa.
Namun, sejak keputusan ini diumumkan, media nasional mulai mengangkat kontroversi seputar ambisi besar ini, reaksi publik terpecah. Di satu sisi, program ini dianggap sebagai langkah progresif untuk mengatasi malnutrisi. Namun, di sisi lain, berbagai pihak mengkritik kebijakan ini sebagai langkah tergesa-gesa yang kurang dilandasi riset mendalam dan implementasi yang matang. Realitas di lapangan menunjukkan kelemahan besar dalam pelaksanaannya.
Ambisi Besar, Dasar yang Rapuh
Pemerintah mengalokasikan Rp71 triliun per tahun untuk menyediakan makan siang bergizi di sekolah, dengan menu mencakup nasi, ayam, telur, sayur, dan susu. Program ini dianggap sebagai langkah jangka panjang untuk meningkatkan kualitas generasi muda. Namun, ambisi ini tampak kurang mempertimbangkan riset tentang kebutuhan gizi anak-anak Indonesia yang beragam. Misalnya, prevalensi alergi susu sapi di Indonesia mencapai 0,5–7,5 persen, menurut laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI, 2014). Gejala alergi ini mencakup ruam kulit, gatal-gatal, hingga diare. Bahkan, laporan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 2012 menunjukkan 23,8 persen pasien anak-anak memiliki alergi terhadap susu sapi. (Sumber: Media Indonesia, wawancara dengan Dr. Budi Setiabudiawan, 26 Juni 2024).
Selain itu, susu sering dianggap sebagai simbol makanan bergizi tanpa mempertimbangkan bahwa intoleransi laktosa adalah masalah umum di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Penelitian oleh The Southeast Asian Nutrition Surveys (SEANUTS, 2013) menunjukkan bahwa 50–90 persen populasi di wilayah ini mengalami intoleransi laktosa. Susu yang disediakan pemerintah, yang sering kali mengandung gula tinggi, justru berisiko memicu obesitas dan diabetes.
Implementasi yang Bermasalah dan  Ego Kebijakan yang Mengabaikan Realitas
Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) menghadapi serangkaian kendala serius yang menunjukkan kurangnya persiapan dan koordinasi di berbagai tingkatan. Di Kota Solo, misalnya, pilot project program ini mengalami penundaan akibat ketiadaan petunjuk teknis yang jelas. Sekretaris Daerah Pemkot Solo mengungkapkan bahwa hingga saat ini koordinasi antara pihak pemerintah daerah dan dinas terkait belum dilakukan secara optimal, sehingga distribusi makanan tidak dapat berjalan sesuai rencana.
Masalah serupa juga muncul di Jakarta, di mana beberapa sekolah tidak menyertakan susu dalam menu MBG akibat keterbatasan stok. Padahal, susu sebelumnya dijanjikan menjadi bagian penting dari asupan nutrisi yang diberikan kepada siswa. Menurut laporan, susu hanya disediakan 2-3 kali seminggu, jauh dari frekuensi yang ideal untuk memenuhi kebutuhan gizi harian anak-anak (Liputan6.com, 2025).
Di sisi lain, kualitas makanan yang disediakan pun menjadi sorotan. Di SDN 25 Kecamatan Ilir Barat I Palembang, banyak siswa mengeluhkan rasa makanan yang hambar dan kurang berbumbu, terutama pada menu sayur. Keluhan ini berpotensi mengurangi penerimaan siswa terhadap makanan yang disediakan, sehingga tujuan program untuk meningkatkan gizi siswa terancam tidak tercapai (Tempo, 2025).
Kendala distribusi makanan juga menjadi isu utama di sejumlah wilayah. Di Banjarmasin dan Jakarta Timur, makanan sering kali tiba terlambat hingga dua jam, menyebabkan siswa harus menunggu lama atau bahkan pulang sebelum makanan tersedia. Kondisi ini tidak hanya mengganggu jadwal makan anak-anak, tetapi juga menimbulkan ketidaknyamanan yang dapat berdampak pada proses belajar mereka. Di Purwakarta, masalah yang lebih besar terjadi, di mana hanya satu dari 96 dapur umum yang direncanakan berhasil beroperasi. Akibatnya, distribusi makanan terbatas hanya pada 9 sekolah, mencakup 2.957 siswa, jauh dari target awal (Merdeka.com, 2025).
Lebih jauh lagi, masalah pendanaan menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada sumber dana non-struktural. Di Kendari, misalnya, pelaksanaan program MBG masih menggunakan dana pribadi Presiden Prabowo sebagai lanjutan dari uji coba tahun sebelumnya. Setelah dana tersebut habis, pembiayaan baru akan dialihkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Model pembayaran untuk mitra penyedia makanan menggunakan sistem reimburse, di mana mitra harus menggunakan modal pribadi terlebih dahulu sebelum mendapatkan penggantian dari Badan Gizi Nasional (BGN). Sistem ini tidak hanya membebani mitra, tetapi juga rawan keterlambatan pembayaran yang berpotensi menghambat kelangsungan program (Tempo, 2025).