Sering kali kita dihadapkan pada stereotip dan penilaian yang didasarkan pada penampilan fisik seseorang. Fenomena ini sering disebut sebagai "beauty privilege" atau hak istimewa kecantikan, di mana orang-orang yang dianggap lebih menarik secara fisik cenderung mendapatkan perlakuan yang lebih baik atau diuntungkan dalam berbagai situasi. Namun, apakah seharusnya penilaian ini menjadi norma yang diterima?
Stereotip "beauty privilege" telah lama hadir dan menjadi norma yang diwajarkan dalam masyarakat. Hal ini tercermin dalam pandangan bahwa orang yang lebih cantik cenderung lebih berhasil dalam karier, lebih disukai dalam hubungan sosial, dan bahkan dianggap lebih kompeten dalam banyak hal. Namun, adilkah menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan fisiknya?
Pertama-tama, fenomena ini sering kali mengakibatkan ketidakadilan bagi individu-individu yang tidak sesuai dengan standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat. Contoh nyata dari ketidakadilan ini adalah ketika seseorang menjadi korban doxing dan bullying fisik, seperti yang baru-baru ini terjadi pada tiga remaja yang menghina Palestina.Â
Salah satu dari mereka, yang tidak memenuhi kriteria kecantikan yang umum, justru mendapat perlakuan yang lebih buruk dari yang lain. Ini menunjukkan bahwa stereotip "beauty privilege" tidak hanya berpengaruh dalam kesempatan positif, tetapi juga dapat menjadi alat untuk membeda-bedakan dan memperburuk perlakuan terhadap orang-orang yang dianggap kurang menarik secara fisik.
Selain itu, survei dari Beauty Index 2024 menunjukkan bahwa 96,2% masyarakat percaya bahwa wanita yang cantik lebih beruntung. Ini menegaskan bahwa pandangan ini masih sangat melekat dalam budaya kita.Â
Namun, perlu dicatat bahwa penilaian berdasarkan penampilan tidak hanya terjadi di antara orang dewasa, tetapi juga dapat memengaruhi perkembangan individu dari usia dini. Anak-anak dan remaja yang tidak memenuhi standar kecantikan sering kali mengalami tekanan sosial yang lebih buruk, yang dapat berdampak negatif pada kepercayaan diri dan kemampuan berkembang mereka secara keseluruhan.
Dalam mengakhiri pembahasan ini, penting untuk menyadari bahwa "beauty privilege" bukanlah sesuatu yang seharusnya dijadikan sebagai dasar untuk melihat nilai atau potensi seseorang. Kecantikan adalah sesuatu yang subjektif dan tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan nilai seseorang. Sebagai masyarakat yang semakin beragam, kita perlu berjuang untuk menghapus stereotip dan penilaian yang dangkal berdasarkan penampilan fisik.
Kita perlu menyebarluaskan nilai-nilai seperti keberagaman, kesetaraan, dan penghargaan terhadap keunikan setiap individu. Melalui pendidikan, kesadaran, dan aksi nyata untuk mendorong toleransi atas keberagaman, kita dapat menghapus penilaian tidak adil tersebut. Kecantikan sejati terletak dalam karakter dan kontribusi seseorang terhadap dunia, bukan hanya dalam penampilan fisik mereka.
Mari kita bersama-sama menentang stereotip "beauty privilege" dan menggantinya dengan pandangan yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai sejati yang membuat kita semua manusia yang berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H